Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 23 Juni 2015

Dilema Cinta Sepohon Jati


Kolong langit semakin rapuh. Wajah dunia nampak lelah dan memucat  Saat menatap langit, aku  melihat wajah-wajah yang sedang bermain sandiwara. Meringis tapi menyembunyikan luka. Bulan terlihat begitu memaksakan lekukan senyumnya. Bukankah seharusnya ia bahagia dikelilingi gemintang yang begitu setia. Mungkinkah karena kerlipan bintang lebih redup dari biasanya, lantas ia bersedih. Ada apa pula dengan matahari, sulur-sulur sinarnya seakan tak lagi memberikan kehangatan. Aku melihat itu hanyalah sulur-sulur ketidakberdayaan yang lelah dipermainkan sutradara.
Semua berbeda. Semakin berbeda. Senja yang datang setiap hari tak lagi  menampakkan jingga. Langit tempat nirwana bertahta seakan kehabisan tinta birunya. Langit yang menghitam melunturkan siang yang semestinya selalu datang. Walaupun  terkadang aku sadar, saat  malam menjelma, hitam adalah satu-satunya warna  yang mampu merebahkan lelah. Karena dengan kegelapan, aku merasa buta dengan segala carut-marut dunia yang begitu memilukan. Bukankah dengan itu hidupku terasa lebih tenang? Entahlah.
Saat menatap langit, yang ada hanyalah kekesalan dan kecemburuan. Aku cemburu pada bulan-bintang. Mengapa mereka berdua begitu romantis?  Hidup beriringan,  saling melengkapi dan menguatkan saat malam menjelma. Sedangkan aku? Aku hanyalah Pohon Jati kecil yang hidup sendiri tanpa kekasih dan tanpa cinta. Cinta? Ya, aku sering mendengar kata   itu dari suara-suara yang terbawa hembusan angin. Katanya, cinta itu  anugerah terindah di dunia. Katanya, Tuhan itu menciptakan apapun di dunia ini berpasang-pasangan.  Tapi mana buktinya, aku tak pernah bertemu pasanganku apalagi mengenal kata cinta.  Apa mungkin karena aku masih terlalu muda? Lihat saja, daunku masih nampak muda, kemerahan dan mengeluarkan getah merah darah apabila diremas. Rantingku pun masih begitu muda, berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya.
Sungguh ironis hidupku. Aku memang pohon jati kecil yang malang. Hidup sendirian dalam hutan seluas ini. Tunggu, hutan? Mmm… aku pikir, tempat ini terlalu sederhana untuk aku sebut hutan. Ladang. Ya, ini ladang sederhana, bukan hutan.

@@@@@
Sanak saudaraku mati dengan berbagai cara. Banyak saudara seusiaku mati sebelum benar-benar hidup. Aku termasuk yang paling beruntung, bisa hidup sampai sejauh ini. Mereka mati terkena penyakit leaf spot disease yang disebabkan Phomopsis S.p. saat masa pembibitan dulu. Padahal mereka baru berusia 2-8 bulan dalam pembibitan. Adanya necrosis berwarna coklat muda pada pinggir daun secara bertahap menyebar ke pelepah. Infeksi kemudian menyebar ke bagian atas daun, petiol, dan ujung batang yang mengakibatkan bagian daun dari batang mengalami kekeringan. Karena tidak disadari dan dikontrol, infeksi dari Phomopsis sp. menyebar sampai ke seluruh bibit sehingga mereka mati sebelum merasakan lika-liku kehidupan sebenarnya. Ironis.
@@@@@
Tempat yang baik untuk kami adalah tempat bercurah hujan 1.500-2.000 mm/tahun dengan tanah yang tidak dibanjiri air. Bukankah ini Indonesia, suatu negara beriklim tropis yang seharusnya layak kami huni. Tapi, kenapa hujan datang dalam waktu yang tak semestinya. Hujan datang saat kemarau dan kemarau datang saat penghujan. Seenaknya saja semesta mempermainkan kami. Dan Ibuku mati karena  hujan  mengeroyoknya begitu keras tanpa ampun.
Menurut cerita leluhurku, kami adalah spesies asli dari Burma. Kemudian menyebar ke Semenanjung India, Thailand, Filipina, dan Jawa. Bahkan katanya,  sebagian besar  kebutuhan jati dunia pada saat ini dipasok oleh Burma. Tak bisa dibayangkan, betapa bahagianya jikalau aku hidup di sana. Hidup dikelilingi sanak-saudara, pasti membuat duniaku bagaikan nirwana. Tapi, apa daya. Aku hanyalah pohon jati kecil tak berdaya. Terkadang, aku sering marah kepada Tuhan. Kenapa Dia begitu jahat kepadaku. Kenapa aku mesti dilahirkan di tanah yang bernama Indonesia .
“Aku benci Indonesia !” aku berteriak lantang memecah kesunyian.
“Hmmmm….”  Tiba-tiba tanah bergumam lirih menyahut teriakanku. “Kenapa kau membenci Indonesia? Aku adalah tanah Indonesia. Berarti kau membenciku.” Kata tanah dengan nada lebih tinggi.
“Kamu lihat, aku sebatang kara di sini. Ibuku mati terjamah napsu liar hujan. Saudara-saudara kecilku mati terkena napsu jamur-jamur jahat. Kakekku dan saudara-saudaraku yang lain mati ditebangi oleh makhluk-makhluk rakus itu. Sebentar lagi, tempat inipun akan berubah menjadi villa mewah penimbun uang. Masih kurangkah uang hasil penjualan tubuh kakek dan saudara-saudaraku? Lantas apa yang mesti aku banggakan disisa hidupku ini, jika aku dilahirkan hanya untuk melihat dan mengerti arti sebuah kematian. Sebentar lagi kematian akan mengajari raga dan jiwaku sendiri tentang sebuah perpisahan. Ya, sebentar lagi aku akan ditebang atau dibakar atau malah dilindas oleh bulldozer itu. “ Celotehku panjang.
“Lantas, hubungannya semua itu denganku? Apa salahku? Bukankah aku ini tanah surga yang teramat subur?” tanya tanah heran.
“Kamu tidak usah belaga suci, tanah! Lihat, dengar, rasakan, bencana datang saling berlomba. Kamu tahu kenapa semua itu bisa terjadi? Itu karena kau begitu miskin dan lemah . Bisa-bisanya kau menyebut dirimu surga. Dimataku, kau lebih buruk dari neraka jahanam sekalipun. Aku malu sekali tinggal di tanah sepertimu. “ gertakku sinis.
“Terserah. Apapun yang kau katakan. Biarlah seluruh semesta membenci dan menyudutkanku. Biarlah semua menghardikku sebagai tanah kumuh, tanah perusak,  tanah pecundang, atau tanah seribu bencana sekalipun. Biarlah mereka mencibirku sebagai tanah pengumbar  sensasi. Biarlah. Aku tidak akan pernah membenci siapapun. Aku akan tetap bangga menjadi diriku. Aku tetap bangga menyandang nama Indonesia. “ jawab tanah.
 “ Sudah, diam kau ! Aku tak mau bicara lagi denganmu. “ Gertakku mengakhiri perseteruan.
@@@@@
“Sayang…aku sayang sekali sama kamu.”
“Aku juga, cintaku.”
Percakapan antara asap dan api itu membuatku muak. Tak tahukah meraka jika aku sedang kesal. Bisa-bisanya mereka menari di atas puing-puing saudaraku dan di atas penderitaanku.
“Sayang…”
“Apa sayang? hahaha...”
Lagi-lagi mereka saling melemparkan rayuan. Menjijikkan.
“Diam kalian ! ” teriakku kesal.
“Maaf, Jati.” Sahut mereka bersamaan.
“Tega-teganya kalian bermesraan di depanku. Kalian hidup berdampingan, sementara aku hidup seorang diri. ” protesku lagi.
“Lantas, salahkah jika kami ingin memadu kasih? Bukankah ini perasaan yang wajar adanya. Bukankah cinta itu suci? ” tanya asap kesal.
“Cinta itu suci, benarkah? Lihat, kebersamaan kalian hanyalah sebuah keegoisan. Jika kalian bersatu, pasti ada saudara-saudaraku yang dikorbankan. Kalian sudah membakar sisa daun saudara-saudaraku di ladang ini. Dan di sana, lihat ke arah 90 derajat, lihat ! Di hutan sana, kalian juga menari membakar pinus, damar, cemara dan pepohonan lain. Tahukah kalian jika paru-paru dunia ada di dalamnya?  Masihkah kalian berani menyebut cinta itu suci? “
“Jangan salahkan kami. Bukan kami yang memaksakan cinta itu bersatu. Tapi Dewa Cinta yang memaksa kami untuk bersatu.”
“Dewa cinta? Siapa dia?”
Belum sempat tanda tanyaku terjawab, mereka pun lenyap tersapu hembusan angin.
@@@@@
“Jati, kenapa kau murung seperti itu? Lihatlah, angin tengah berdendang syahdu. Tidakkah kau ikut bergoyang dengannya? Goyangkanlah dahanmu sedikit. “ kata tanah mencoba menghibur. Tapi, aku tetap saja membisu.
“Apa yang kau inginkan jati? Jawablah,” lanjutnya lagi.
“Aku ingin belahan jiwa. Aku ingin cinta, layaknya bulan-bintang serta api-asap. Aku sudah lelah hidup sendiri.” Kataku memelas.
“jati…jati… kata siapa kau hidup sendiri? Bukankan angin selalu menyapamu? Bukankah burung-burung masih menegurmu? Dan bukankah aku masih setia menemanimu? Kapanpun dan dimanapun.” katanya menimpali.
“Tanah, beri tahu aku, siapa dewa cinta itu?”
“Aku tidak tahu, Jati.”
“Bohong !”
“lantas, jika aku tahu, apa untungnya buatmu?”
“Aku lelah hidup dalam kesendirian di lahan ini. Aku ingin mencari tahu siapa jodohku. Aku ingin dia mempertemukan aku dengannya. Kamu pasti tahu siapa dewa cinta itu. Aku yakin, kamu pasti pernah merasakan yang namanya jatuh cinta.”
“Pasti. Sekarang pun aku tengah merasakannya. Setiap detik yang kulalui adalah bentangan waktu yang berisi cinta. “
“Siapa yang kau cintai? Bagaimana cara kau menemukan dan menyatakan cinta itu? Apakah dewa cinta itu yang membantumu?”
“Cintaku adalah bumi. Pohon, hewan, air, dan seluruh isinya. Termasuk kamu. Cinta itu bukan definisi, tapi pemberian tanpa kata. Biarlah kalian mencemooh, menyalahkan dan membenciku. Tapi aku tetap rela kalian injak. Aku tetap rela kalian tanam. Aku tetap rela kalian bangun. Aku akan tetap menopang kalian, selama pemilik semesta masih mengizinkanku bernyawa. Terakhir, aku akan tetap bangga memiliki nama Indonesia, selama semesta tak menenggelamkan namaku dalam catatan sejarahnya.”
“Tanah bodoh, tak usahlah kau mengguruiku ! Aku hanya bertanya siapa Dewa Cinta itu.  Seharusnya dari tadi aku tak berbicara denganmu. O iya, terakhir juga, aku cuma mau bilang ‘aku tak pernah bangga dengan nama Indonesia.’ “
@@@@@
Malam telah pergi, menelungkup di lekuk fajar. Deru-deram suara bulldozer seakan menghilangkan kedamaian  yang biasa menghiasinya. Buldozer itu mondar-mandir meratakan gundukan sembari mengeluarkan suara gemuruhnya. Sesekali suaranya sayup menjauh, namun kembali mengeras saat harapanku kembali digantungkan.
Harapan itu benar-benar pergi. Sekop bulldozer memangkas pangkal batangku dari tanah. Tapi setidaknya aku senang bisa terbebas dari tanah bodoh itu. Tapi benarkan aku tebebas? Sepertinya tidak.
Entahlah harus aku sebut apa diriku sekarang. Mati ataukah hidup. Mmm… selama tubuhnya masih nyata terlihat dan nyata tergenggam, aku masih ingin menyebut diriku masih hidup. Meski aku sudah tak menancap lagi di tanah. Meski aku sudah dimasukkan dalam mobil truk sampah. Aku masih hidup.
Setelah begitu lama berjalan, mobil biadab itu pun terhenti. Ia memiringkin gerobak belakangnya dan manjatuhkanku di antara milyaran sampah. Tapi ingat, aku bukan sampah. Aku jati.
Menjijikkan, sampah-sampah itu bermesraan dengan para lalat. Aku heran, kenapa di dunia ternyata ada juga gunung sampah. Sungguh berbeda dengan gunung yang seharusnya Tuhan ciptakan. Hijau. Sejuk.
Lagi dan lagi, nama Dewa Cinta itu kembali disebut. Lalat dan sampah bilang jikalau Dewa Cinta yang menyatukan mereka. Namun saat aku tanya siapa dan dimana dia, mereka diam.
@@@@@
Daunku nyaris gundul. Hanya ada satu daun layu yang masih menempel. Selama aku belum menjadi butiran debu,  aku masih menyebut diriku hidup. Aku masih bisa menyaksikan keironisan dunia. Lihat saja, di sana-sini hanya lautan sampah yang terbentang. Di tanah yang seharusnya ditumbuhi pepohonan pun dibangun rumah-rumah yang letaknya terlalu memaksa.
Belum lama aku termangu, tiba-tiba tubuhku bergetar. Semula aku berpikir ini hanya ilusi. Mungkin juga angin yang tengah usil. Aku salah. Ini kerjaan tanah sialan itu. Ya, benar saja tanah itu mengamuk, menghancurkan rumah, pepohonan atau bahkan diriku. Oh, ini tanah longsor.
“Tanah, apa yang kau lakukan? Tegakah dirimu melakukan semua ini?”
“Ini bukan salahku. Seandainya Dewa Cinta tidak melakukan semua yang ia lakukan. Mungkin aku takkan melakukannya.”
“Jadi kamu kenal dengan Dewa Cinta itu? Beritahu aku siapa dia sesungguhnya.”
Belum sempat tanda tanyaku terjawab. Air hujan tiba-tiba datang mengagetkan. Dalam hitungan menit, jam, alirannya mampu menghanyutkan segala macam benda dan puing bangunan. Bahkan aku.
“Hay tanah, serakah sekali kau ini. Di ujung belahan pulau seberang kau ingin bersatu dengan air laut. Kau memaksa gelombang air laut itu membelaimu hingga puluhan kilometer. Kau meluluhlantakkan bangunan, pepohonan dan makhluk lain. Tetapi, di sini kau juga ingin bersatu dengan air hujan yang membumbung tinggi.” Sahut angin mengagetkan.
“Jangan salahkan aku. Dewa Cinta yang memaksaku bersatu dengan air laut maupun air hujan. Aku tak pernah meminta agar aku bisa bersatu dengan dengan mereka. Aku  tak pernah berdoa agar banjir dan tsunami itu terjadi.”        
            “Ah, sudahlah tak usah mengelak. Dasar kau tanah lemah dan serakah. Kau egois, hanya demi napsu, kau korbankan seluruh kebahagiaan semesta. Aku semakin malu dan jijik dengan kau, Tanah Indonesia. Tsunami, banjir, penggundulan hutan, tanah longsor, bahkan merebaknya gunungan sampah itu pasti karena kelemahan dan keegoisanmu. Kalau kau memang tanah subur, kuat dan hebat, kau pasti bisa menahan semua itu agar tidak terjadi. Tapi kau lemah. Pembawa sial. ” aku memakinya sembari terombang-ambing bersama aliran air hujan yang mencapai dua meter.
                                                  @@@@@
“Aku ada di mana?” tanyaku heran.
Aku berada di ujung tebing. Di sini tak ada lagi air bah yang meninggi.
Tiba-tiba, tanah kembali mengamuk, ujung yang aku injak ternyata kembali melemah. Aku pun ikut jatuh bersama taburan tanah yang terberai. Ragaku terguling-guling tanpa arah. Wow, aku berada di suatu tempat yang ditumbuhi ribuan Jati. Ini surga.
“Hay saudara!” Sapaku pada salah satu pohon jati dewasa di sini. Daunnya lebat. Seharusnya sekarang kemarau dan mereka meranggas. Tapi musim penghujan tak mau beranjak pergi.
“Hai juga, kawan!” sahutnya ramah.
“Inikah yang dinamakan surga? Ternyata ada juga surga di tanah neraka ini, “ kataku kagum.
            “Lihat jati, kau tak sendiri. Lihat, aku bukan tanah gersang. Lihat, Indonesia bukan neraka.” Tanah menyela tiba-tiba. Kesal. Memang nasib, dia ada di mana-mana. Aku tak bisa menghindar sedikitpun dari pandangannya.
“Iya, ini semua karena malaikat-malaikat itu. Ya, mereka para penyayang dan pemelihara kami. Dulu, aku sempat berpikir jikalau makhluk jenis itu semuanya setan. Tapi aku salah. Para makhluk dalam Perum Perhutani itu malaikat bagi kami.” Jati lain menanggapi dengan tenang.
“Ah, kalian bodoh. Pasti ujung-ujungnya kalian ditebang dan dijadikan uang juga.”
            “Bukankah seperti itu seharusnya. Kita ditakdirkan untuk tumbuh, ditebang dan dijadikan uang. Itu bukan musibah. Itu takdir. Tapi, yang menjadi masalah adalah ketika mereka merusak habitat kami. Merusak pemandangan kami. Tidak segera menyiapkan keberlangsuangan hidup bibit penerus kami. Merusak bumi kami dan merusak tanaman-tanaman lain hanya demi uang. Tanpa peduli langit yang menghitam dan tanah yang meracun. Dan di sini mereka merawat habitat kami. Mereka bukan setan.” Jati lain ikut menanggapi dengan bijak.
“Tunggu, kalian tahukan siapa Dewa Cinta yang sering dibacarakan semesta? Dia yang bisa menyatukan dan memisahkan dua makhluk maupun alam. Aku sedang mencari cinta. Aku trauma hidup sebagai jati kesepian di ladang dulu. Aku iri melihat alam saling bermesraan. Aku melihat  api dan kabut semakin sering bersatu dalam kebakaran hutan, gunung meletus. Sampah dan lalat yang bersatu dalam gunungan sampah semakin sulit terpisahkan. Bahkan tanah serakah ini bisa merayu air hujan dan air laut sekaligus. Banjir dan tsunami bisa datang bersamaan. Aku ingin menemui Dewa Cinta itu.”
“Jati kecil yang malang, lihat, dengar, rasakan, kau pasti tahu siapa dia. Kita tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, Tuhan pun diam. Mungkin Dia juga lelah seperti kau, kami, kita.”
@@@@@
Sesosok makhluk berperawakan sedang membawa tubuhku yang semakin ringkih. Entah kemana. Dia terus berjalan, berjalan dan berjalan.
Permadani hitam telah ditahtakan. Rembulan tenggelam dalam kepekatan yang tak berbintang.Namun, rembulan itu juga  tenggelam dalam wajah-wajah penuh tawa. Segerombolan pemuda-pemudi mendirikan tenda dan berpesta. Dan makhluk itu melemparkanku pada bara api yang hampir padam. Alhasil, tubuhku kembali membangkitkan gejolak api unggun yang sempat melemah.
Api. Mungkinkah api jodoh sejati sepohon jati? Lihat, di akhir hayatku dialah yang menghanguskanku. Mungkin inikah caranya bersatu denganku. Oh tidak. Tiba-tiba padam tertiup angin yang bergoyang lincah. Mungkin angin cemburu dan ingin memiliku. Ah, tapi bukan. Tiba-tiba gerimis hujan mengacaukan liukannya. Mungkin hujan belahan jiwaku. Ah, bukan juga. Dia datang sesaat lantas pergi.
Makhluk-makhluk itu lalu mengguyur badanku yang tinggal separuh itu dengan minyak tanah. Api kembali mereka lemparkan dari sebatang korek api. Aku hangus. Rapuh jadi abu. Aku tanah.
 Jika aku tidak bisa menemukan dan bersatu dengan pasangan jiwaku. Aku rela. Tapi aku ingin mereka semua berpisah. Api-kabut tak boleh berlama-lama dalam membakar hutan. Lalat-sampah harus segera musnah dari pandangan. Tanah dengan Air laut dan hujan pun tak boleh egois meluluhlantakkan dunia. Aku ingin dunia ini indah. Aku ingin kembali melihat sulur mentari yang sinarnya tulus menghangatkan. Aku ingin lekukan senyum rembulan tidak sekaku ini. Aku ingin warna hijau mendominasi semesta , bukan hitam dan abu-abu.
 Sekarang aku sadar, siapa belahan jiwaku sebenarnya. Dia yang selalu ada. Dia yang menjadi awal dan akhir aku tercipta. Dialah tanah.Dan tanah hebat yang aku kenal selama hidupku, tanah Indonesia. Tuhan begitu hebat bisa menciptakan lukisan semesta yang diberi nama Indonesia. Meski tinta hijaunya mulai pudar tertutup debu-debu hitam. Tapi, munafik sekali jika aku membencinya. Kebakaran hutan ada di mana-mana, semua takkan terjadi jika tanah ini gersang, tak memiliki hutan yang begitu luas dan indah. Gunung meletus yang datang berlomba, takkan pernah terjadi jika tanah ini hanya tanah rata yang tak bergunung-gunung dan berbukit-bukit indah. Bahkan, Tsunami takkan terjadi jika tanah ini tak dikelilingi samudra yang luas dan bergelombang syahdu. Ya, seharusnya Indonesia tetap menjadi miniatur surga seperti semestinya. Tapi ini realita, surga itu kian menjauh.
Kini aku adalah dia, tanah Indonesia. Aku abu. Tanah. Aku pernah menyebutnya neraka. Neraka tercipta bukan karena sebuah nama, tempat, melainkan sikap. Bukan tanahlah yang menenggelamkan kata surga dalam mata dunia, tapi Dewa Cinta. Walaupun masih tersisa Dewa Cinta yang pantas menyandang kata cinta. Hanya segelintir. Dia, Dewa Cinta akan tetap memisahkan dan menyatukan semesta seenaknya. Ya, Dewa Cinta itu bernama M-A-N-U-S-I-A.”

 (Note : Cerpen ini aku ikutin lomba Perhutani Green Pen Award 2015 dan jelas pastinya KALAH..wkwkwk)

sumbergambar : https://lh3.googleusercontent.com/kTWiVFrajW0E1bbRmiMm6JWSJcUc6hSj8TQgaXODxm4NFaJWMLyLxJUH0orliJUK59WcFg=s92




0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

liukan pelangi

Wavy Tail

Blogroll

About