Kolong
langit semakin rapuh. Wajah dunia nampak lelah dan memucat Saat menatap langit, aku melihat wajah-wajah yang sedang bermain
sandiwara. Meringis tapi menyembunyikan luka. Bulan terlihat begitu memaksakan
lekukan senyumnya. Bukankah seharusnya ia bahagia dikelilingi gemintang yang
begitu setia. Mungkinkah karena kerlipan bintang lebih redup dari biasanya,
lantas ia bersedih. Ada apa pula dengan matahari, sulur-sulur sinarnya seakan
tak lagi memberikan kehangatan. Aku melihat itu hanyalah sulur-sulur
ketidakberdayaan yang lelah dipermainkan sutradara.
Semua
berbeda. Semakin berbeda. Senja yang datang setiap hari tak lagi menampakkan jingga.
Langit tempat nirwana bertahta seakan kehabisan tinta birunya. Langit yang
menghitam melunturkan siang yang semestinya selalu datang. Walaupun terkadang aku sadar, saat malam menjelma, hitam adalah satu-satunya
warna yang mampu merebahkan lelah.
Karena dengan kegelapan, aku merasa buta dengan segala carut-marut dunia yang
begitu memilukan. Bukankah dengan itu hidupku terasa lebih tenang? Entahlah.
Saat menatap langit,
yang ada hanyalah kekesalan dan kecemburuan. Aku cemburu pada bulan-bintang.
Mengapa mereka berdua begitu romantis?
Hidup beriringan, saling
melengkapi dan menguatkan saat malam menjelma. Sedangkan aku? Aku hanyalah
Pohon Jati kecil yang hidup sendiri tanpa kekasih dan tanpa cinta. Cinta? Ya,
aku sering mendengar kata itu dari suara-suara yang terbawa hembusan
angin. Katanya, cinta itu anugerah
terindah di dunia. Katanya, Tuhan itu menciptakan apapun di dunia ini
berpasang-pasangan. Tapi mana buktinya,
aku tak pernah bertemu pasanganku apalagi mengenal kata cinta. Apa mungkin karena
aku masih terlalu muda? Lihat saja, daunku masih
nampak muda, kemerahan dan mengeluarkan getah merah darah apabila diremas. Rantingku pun masih begitu muda,
berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya.
Sungguh ironis hidupku.
Aku memang pohon jati kecil yang malang. Hidup sendirian dalam hutan seluas
ini. Tunggu, hutan? Mmm… aku pikir, tempat ini terlalu sederhana untuk aku sebut
hutan. Ladang. Ya, ini ladang sederhana, bukan hutan.
@@@@@
Sanak saudaraku mati
dengan berbagai cara. Banyak saudara seusiaku mati sebelum benar-benar hidup.
Aku termasuk yang paling beruntung, bisa hidup sampai sejauh ini. Mereka mati
terkena penyakit leaf spot disease
yang disebabkan Phomopsis S.p. saat
masa pembibitan dulu. Padahal mereka baru berusia 2-8 bulan dalam pembibitan. Adanya necrosis berwarna coklat muda pada pinggir daun secara bertahap
menyebar ke pelepah. Infeksi kemudian menyebar ke bagian atas daun, petiol, dan ujung batang yang mengakibatkan bagian daun dari batang
mengalami kekeringan. Karena tidak disadari dan dikontrol, infeksi dari Phomopsis sp. menyebar sampai ke seluruh
bibit sehingga mereka mati sebelum merasakan lika-liku kehidupan sebenarnya.
Ironis.
@@@@@
Tempat yang baik untuk
kami adalah tempat bercurah hujan 1.500-2.000 mm/tahun dengan tanah yang tidak
dibanjiri air. Bukankah ini Indonesia, suatu negara beriklim tropis yang
seharusnya layak kami huni. Tapi, kenapa hujan datang dalam waktu yang tak
semestinya. Hujan datang saat kemarau dan kemarau datang saat penghujan. Seenaknya
saja semesta mempermainkan kami. Dan Ibuku mati karena hujan mengeroyoknya begitu keras tanpa ampun.
Menurut cerita leluhurku,
kami adalah spesies asli dari Burma. Kemudian menyebar ke Semenanjung India, Thailand, Filipina, dan Jawa. Bahkan katanya, sebagian besar kebutuhan jati dunia pada saat ini dipasok
oleh Burma. Tak bisa dibayangkan, betapa bahagianya jikalau aku hidup di sana.
Hidup dikelilingi sanak-saudara, pasti membuat duniaku bagaikan nirwana. Tapi,
apa daya. Aku hanyalah pohon jati kecil tak berdaya. Terkadang, aku sering
marah kepada Tuhan. Kenapa Dia begitu jahat kepadaku. Kenapa aku mesti
dilahirkan di tanah yang bernama Indonesia
.
“Aku
benci Indonesia !” aku berteriak lantang memecah kesunyian.
“Hmmmm….” Tiba-tiba tanah bergumam lirih menyahut
teriakanku. “Kenapa kau membenci Indonesia? Aku adalah tanah Indonesia. Berarti
kau membenciku.” Kata tanah dengan nada lebih tinggi.
“Kamu
lihat, aku sebatang kara di sini. Ibuku mati terjamah napsu liar hujan.
Saudara-saudara kecilku mati terkena napsu jamur-jamur jahat. Kakekku dan
saudara-saudaraku yang lain mati ditebangi oleh makhluk-makhluk rakus itu.
Sebentar lagi, tempat inipun akan berubah menjadi villa mewah penimbun uang. Masih
kurangkah uang hasil penjualan tubuh kakek dan saudara-saudaraku? Lantas apa
yang mesti aku banggakan disisa hidupku ini, jika aku dilahirkan hanya untuk
melihat dan mengerti arti sebuah kematian. Sebentar lagi kematian akan
mengajari raga dan jiwaku sendiri tentang sebuah perpisahan. Ya, sebentar lagi
aku akan ditebang atau dibakar atau malah dilindas oleh bulldozer itu. “ Celotehku panjang.
“Lantas,
hubungannya semua itu denganku? Apa salahku? Bukankah aku ini tanah surga yang
teramat subur?” tanya tanah heran.
“Kamu
tidak usah belaga suci, tanah! Lihat,
dengar, rasakan, bencana datang saling berlomba. Kamu tahu kenapa semua itu
bisa terjadi? Itu karena kau begitu miskin dan lemah . Bisa-bisanya kau menyebut
dirimu surga. Dimataku, kau lebih buruk dari neraka jahanam sekalipun. Aku malu
sekali tinggal di tanah sepertimu. “ gertakku sinis.
“Terserah.
Apapun yang kau katakan. Biarlah seluruh semesta membenci dan menyudutkanku. Biarlah
semua menghardikku sebagai tanah kumuh, tanah perusak, tanah pecundang, atau tanah seribu bencana
sekalipun. Biarlah mereka mencibirku sebagai tanah pengumbar sensasi. Biarlah. Aku tidak akan pernah
membenci siapapun. Aku akan tetap bangga menjadi diriku. Aku tetap bangga
menyandang nama Indonesia. “ jawab tanah.
“ Sudah, diam kau ! Aku tak mau bicara lagi
denganmu. “ Gertakku mengakhiri perseteruan.
@@@@@
“Sayang…aku sayang
sekali sama kamu.”
“Aku juga, cintaku.”
Percakapan antara asap
dan api itu membuatku muak. Tak tahukah meraka jika aku sedang kesal.
Bisa-bisanya mereka menari di atas puing-puing saudaraku dan di atas
penderitaanku.
“Sayang…”
“Apa sayang? hahaha...”
Lagi-lagi mereka saling
melemparkan rayuan. Menjijikkan.
“Diam kalian ! ” teriakku
kesal.
“Maaf, Jati.” Sahut
mereka bersamaan.
“Tega-teganya kalian
bermesraan di depanku. Kalian hidup berdampingan, sementara aku hidup seorang
diri. ” protesku lagi.
“Lantas, salahkah jika
kami ingin memadu kasih? Bukankah ini perasaan yang wajar adanya. Bukankah
cinta itu suci? ” tanya asap kesal.
“Cinta itu suci,
benarkah? Lihat, kebersamaan kalian hanyalah sebuah keegoisan. Jika kalian
bersatu, pasti ada saudara-saudaraku yang dikorbankan. Kalian sudah membakar
sisa daun saudara-saudaraku di ladang ini. Dan di sana, lihat ke arah 90
derajat, lihat ! Di hutan sana, kalian juga menari membakar pinus, damar,
cemara dan pepohonan lain. Tahukah kalian jika paru-paru dunia ada di dalamnya?
Masihkah kalian berani menyebut cinta
itu suci? “
“Jangan salahkan kami.
Bukan kami yang memaksakan cinta itu bersatu. Tapi Dewa Cinta yang memaksa kami
untuk bersatu.”
“Dewa cinta? Siapa
dia?”
Belum sempat tanda
tanyaku terjawab, mereka pun lenyap tersapu hembusan angin.
@@@@@
“Jati, kenapa kau
murung seperti itu? Lihatlah, angin tengah berdendang syahdu. Tidakkah kau ikut
bergoyang dengannya? Goyangkanlah dahanmu sedikit. “ kata tanah mencoba
menghibur. Tapi, aku tetap saja membisu.
“Apa yang kau inginkan
jati? Jawablah,” lanjutnya lagi.
“Aku ingin belahan
jiwa. Aku ingin cinta, layaknya bulan-bintang serta api-asap. Aku sudah lelah
hidup sendiri.” Kataku memelas.
“jati…jati… kata siapa
kau hidup sendiri? Bukankan angin selalu menyapamu? Bukankah burung-burung
masih menegurmu? Dan bukankah aku masih setia menemanimu? Kapanpun dan
dimanapun.” katanya menimpali.
“Tanah, beri tahu aku,
siapa dewa cinta itu?”
“Aku tidak tahu, Jati.”
“Bohong !”
“lantas, jika aku tahu,
apa untungnya buatmu?”
“Aku lelah hidup dalam
kesendirian di lahan ini. Aku ingin mencari tahu siapa jodohku. Aku ingin dia mempertemukan
aku dengannya. Kamu pasti tahu siapa dewa cinta itu. Aku yakin, kamu pasti
pernah merasakan yang namanya jatuh cinta.”
“Pasti. Sekarang pun
aku tengah merasakannya. Setiap detik yang kulalui adalah bentangan waktu yang
berisi cinta. “
“Siapa yang kau cintai?
Bagaimana cara kau menemukan dan menyatakan cinta itu? Apakah dewa cinta itu
yang membantumu?”
“Cintaku adalah bumi.
Pohon, hewan, air, dan seluruh isinya. Termasuk kamu. Cinta itu bukan definisi,
tapi pemberian tanpa kata. Biarlah kalian mencemooh, menyalahkan dan
membenciku. Tapi aku tetap rela kalian injak. Aku tetap rela kalian tanam. Aku
tetap rela kalian bangun. Aku akan tetap menopang kalian, selama pemilik
semesta masih mengizinkanku bernyawa. Terakhir, aku akan tetap bangga memiliki
nama Indonesia, selama semesta tak menenggelamkan namaku dalam catatan
sejarahnya.”
“Tanah bodoh, tak
usahlah kau mengguruiku ! Aku hanya bertanya siapa Dewa Cinta itu. Seharusnya dari tadi aku tak berbicara
denganmu. O iya, terakhir juga, aku cuma mau bilang ‘aku tak pernah bangga
dengan nama Indonesia.’ “
@@@@@
Malam
telah pergi, menelungkup di lekuk fajar. Deru-deram suara bulldozer seakan menghilangkan kedamaian yang biasa menghiasinya. Buldozer itu
mondar-mandir meratakan gundukan sembari mengeluarkan suara gemuruhnya.
Sesekali suaranya sayup menjauh, namun kembali mengeras saat harapanku kembali
digantungkan.
Harapan
itu benar-benar pergi. Sekop bulldozer memangkas pangkal batangku dari tanah.
Tapi setidaknya aku senang bisa terbebas dari tanah bodoh itu. Tapi benarkan
aku tebebas? Sepertinya tidak.
Entahlah
harus aku sebut apa diriku sekarang. Mati ataukah hidup. Mmm… selama tubuhnya
masih nyata terlihat dan nyata tergenggam, aku masih ingin menyebut diriku
masih hidup. Meski aku sudah tak menancap lagi di tanah. Meski aku sudah
dimasukkan dalam mobil truk sampah. Aku masih hidup.
Setelah
begitu lama berjalan, mobil biadab itu pun terhenti. Ia memiringkin gerobak belakangnya
dan manjatuhkanku di antara milyaran sampah. Tapi ingat, aku bukan sampah. Aku
jati.
Menjijikkan,
sampah-sampah itu bermesraan dengan para lalat. Aku heran, kenapa di dunia
ternyata ada juga gunung sampah. Sungguh berbeda dengan gunung yang seharusnya
Tuhan ciptakan. Hijau. Sejuk.
Lagi
dan lagi, nama Dewa Cinta itu kembali disebut. Lalat dan sampah bilang jikalau
Dewa Cinta yang menyatukan mereka. Namun saat aku tanya siapa dan dimana dia,
mereka diam.
@@@@@
Daunku
nyaris gundul. Hanya ada satu daun layu yang masih menempel. Selama aku belum
menjadi butiran debu, aku masih menyebut
diriku hidup. Aku masih bisa menyaksikan keironisan dunia. Lihat saja, di sana-sini
hanya lautan sampah yang terbentang. Di tanah yang seharusnya ditumbuhi
pepohonan pun dibangun rumah-rumah yang letaknya terlalu memaksa.
Belum
lama aku termangu, tiba-tiba tubuhku bergetar. Semula aku berpikir ini hanya
ilusi. Mungkin juga angin yang tengah usil. Aku salah. Ini kerjaan tanah sialan
itu. Ya, benar saja tanah itu mengamuk, menghancurkan rumah, pepohonan atau
bahkan diriku. Oh, ini tanah longsor.
“Tanah,
apa yang kau lakukan? Tegakah dirimu melakukan semua ini?”
“Ini
bukan salahku. Seandainya Dewa Cinta tidak melakukan semua yang ia lakukan.
Mungkin aku takkan melakukannya.”
“Jadi
kamu kenal dengan Dewa Cinta itu? Beritahu aku siapa dia sesungguhnya.”
Belum
sempat tanda tanyaku terjawab. Air hujan tiba-tiba datang mengagetkan. Dalam
hitungan menit, jam, alirannya mampu menghanyutkan segala macam benda dan puing
bangunan. Bahkan aku.
“Hay
tanah, serakah sekali kau ini. Di ujung belahan pulau seberang kau ingin
bersatu dengan air laut. Kau memaksa gelombang air laut itu membelaimu hingga
puluhan kilometer. Kau meluluhlantakkan bangunan, pepohonan dan makhluk lain.
Tetapi, di sini kau juga ingin bersatu dengan air hujan yang membumbung
tinggi.” Sahut angin mengagetkan.
“Jangan salahkan aku.
Dewa Cinta yang memaksaku bersatu dengan air laut maupun air hujan. Aku tak
pernah meminta agar aku bisa bersatu dengan dengan mereka. Aku tak pernah berdoa agar banjir dan tsunami itu
terjadi.”
“Ah, sudahlah tak usah mengelak. Dasar kau tanah lemah dan serakah. Kau egois, hanya demi napsu, kau korbankan seluruh kebahagiaan semesta. Aku semakin malu dan jijik dengan kau, Tanah Indonesia. Tsunami, banjir, penggundulan hutan, tanah longsor, bahkan merebaknya gunungan sampah itu pasti karena kelemahan dan keegoisanmu. Kalau kau memang tanah subur, kuat dan hebat, kau pasti bisa menahan semua itu agar tidak terjadi. Tapi kau lemah. Pembawa sial. ” aku memakinya sembari terombang-ambing bersama aliran air hujan yang mencapai dua meter.
“Ah, sudahlah tak usah mengelak. Dasar kau tanah lemah dan serakah. Kau egois, hanya demi napsu, kau korbankan seluruh kebahagiaan semesta. Aku semakin malu dan jijik dengan kau, Tanah Indonesia. Tsunami, banjir, penggundulan hutan, tanah longsor, bahkan merebaknya gunungan sampah itu pasti karena kelemahan dan keegoisanmu. Kalau kau memang tanah subur, kuat dan hebat, kau pasti bisa menahan semua itu agar tidak terjadi. Tapi kau lemah. Pembawa sial. ” aku memakinya sembari terombang-ambing bersama aliran air hujan yang mencapai dua meter.
@@@@@
“Aku ada di mana?”
tanyaku heran.
Aku berada di ujung
tebing. Di sini tak ada lagi air bah yang meninggi.
Tiba-tiba, tanah
kembali mengamuk, ujung yang aku injak ternyata kembali melemah. Aku pun ikut
jatuh bersama taburan tanah yang terberai. Ragaku terguling-guling tanpa arah. Wow,
aku berada di suatu tempat yang ditumbuhi ribuan Jati. Ini surga.
“Hay saudara!” Sapaku pada
salah satu pohon jati dewasa di sini. Daunnya lebat. Seharusnya sekarang kemarau
dan mereka meranggas. Tapi musim penghujan tak mau beranjak pergi.
“Hai juga, kawan!”
sahutnya ramah.
“Inikah yang dinamakan
surga? Ternyata ada juga surga di tanah neraka ini, “ kataku kagum.
“Lihat jati, kau tak sendiri. Lihat, aku bukan tanah gersang. Lihat, Indonesia bukan neraka.” Tanah menyela tiba-tiba. Kesal. Memang nasib, dia ada di mana-mana. Aku tak bisa menghindar sedikitpun dari pandangannya.
“Lihat jati, kau tak sendiri. Lihat, aku bukan tanah gersang. Lihat, Indonesia bukan neraka.” Tanah menyela tiba-tiba. Kesal. Memang nasib, dia ada di mana-mana. Aku tak bisa menghindar sedikitpun dari pandangannya.
“Iya, ini semua karena
malaikat-malaikat itu. Ya, mereka para penyayang dan pemelihara kami. Dulu, aku
sempat berpikir jikalau makhluk jenis itu
semuanya setan. Tapi aku salah. Para makhluk dalam Perum Perhutani itu malaikat
bagi kami.” Jati lain menanggapi dengan tenang.
“Ah,
kalian bodoh. Pasti ujung-ujungnya kalian ditebang dan dijadikan uang juga.”
“Bukankah seperti itu seharusnya. Kita ditakdirkan untuk tumbuh, ditebang dan dijadikan uang. Itu bukan musibah. Itu takdir. Tapi, yang menjadi masalah adalah ketika mereka merusak habitat kami. Merusak pemandangan kami. Tidak segera menyiapkan keberlangsuangan hidup bibit penerus kami. Merusak bumi kami dan merusak tanaman-tanaman lain hanya demi uang. Tanpa peduli langit yang menghitam dan tanah yang meracun. Dan di sini mereka merawat habitat kami. Mereka bukan setan.” Jati lain ikut menanggapi dengan bijak.
“Bukankah seperti itu seharusnya. Kita ditakdirkan untuk tumbuh, ditebang dan dijadikan uang. Itu bukan musibah. Itu takdir. Tapi, yang menjadi masalah adalah ketika mereka merusak habitat kami. Merusak pemandangan kami. Tidak segera menyiapkan keberlangsuangan hidup bibit penerus kami. Merusak bumi kami dan merusak tanaman-tanaman lain hanya demi uang. Tanpa peduli langit yang menghitam dan tanah yang meracun. Dan di sini mereka merawat habitat kami. Mereka bukan setan.” Jati lain ikut menanggapi dengan bijak.
“Tunggu,
kalian tahukan siapa Dewa Cinta yang sering dibacarakan semesta? Dia yang bisa
menyatukan dan memisahkan dua makhluk maupun alam. Aku sedang mencari cinta.
Aku trauma hidup sebagai jati kesepian di ladang dulu. Aku iri melihat alam
saling bermesraan. Aku melihat api dan
kabut semakin sering bersatu dalam kebakaran hutan, gunung meletus. Sampah dan
lalat yang bersatu dalam gunungan sampah semakin sulit terpisahkan. Bahkan
tanah serakah ini bisa merayu air hujan dan air laut sekaligus. Banjir dan
tsunami bisa datang bersamaan. Aku ingin menemui Dewa Cinta itu.”
“Jati
kecil yang malang, lihat, dengar, rasakan, kau pasti tahu siapa dia. Kita tak
bisa berbuat apa-apa. Bahkan, Tuhan pun diam. Mungkin Dia juga lelah seperti
kau, kami, kita.”
@@@@@
Sesosok
makhluk berperawakan sedang membawa tubuhku yang semakin ringkih. Entah kemana.
Dia terus berjalan, berjalan dan berjalan.
Permadani
hitam telah ditahtakan. Rembulan tenggelam dalam kepekatan yang tak
berbintang.Namun, rembulan itu juga tenggelam dalam wajah-wajah penuh tawa.
Segerombolan pemuda-pemudi mendirikan tenda dan berpesta. Dan makhluk itu
melemparkanku pada bara api yang hampir padam. Alhasil, tubuhku kembali
membangkitkan gejolak api unggun yang sempat melemah.
Api.
Mungkinkah api jodoh sejati sepohon jati? Lihat, di akhir hayatku dialah yang
menghanguskanku. Mungkin inikah caranya bersatu denganku. Oh tidak. Tiba-tiba
padam tertiup angin yang bergoyang lincah. Mungkin angin cemburu dan ingin
memiliku. Ah, tapi bukan. Tiba-tiba gerimis hujan mengacaukan liukannya.
Mungkin hujan belahan jiwaku. Ah, bukan juga. Dia datang sesaat lantas pergi.
Makhluk-makhluk
itu lalu mengguyur badanku yang tinggal separuh itu dengan minyak tanah. Api
kembali mereka lemparkan dari sebatang korek api. Aku hangus. Rapuh jadi abu.
Aku tanah.
Jika aku tidak bisa menemukan dan bersatu
dengan pasangan jiwaku. Aku rela. Tapi aku ingin mereka semua berpisah.
Api-kabut tak boleh berlama-lama dalam membakar hutan. Lalat-sampah harus
segera musnah dari pandangan. Tanah dengan Air laut dan hujan pun tak boleh
egois meluluhlantakkan dunia. Aku ingin dunia ini indah. Aku ingin kembali melihat
sulur mentari yang sinarnya tulus menghangatkan. Aku ingin lekukan senyum
rembulan tidak sekaku ini. Aku ingin warna hijau mendominasi semesta , bukan
hitam dan abu-abu.
Sekarang aku sadar, siapa belahan jiwaku
sebenarnya. Dia yang selalu ada. Dia yang menjadi awal dan akhir aku tercipta.
Dialah tanah.Dan tanah hebat yang aku kenal selama hidupku, tanah Indonesia. Tuhan
begitu hebat bisa menciptakan lukisan semesta yang diberi nama Indonesia. Meski
tinta hijaunya mulai pudar tertutup debu-debu hitam. Tapi, munafik sekali jika
aku membencinya. Kebakaran hutan ada di mana-mana, semua takkan terjadi jika
tanah ini gersang, tak memiliki hutan yang begitu luas dan indah. Gunung
meletus yang datang berlomba, takkan pernah terjadi jika tanah ini hanya tanah
rata yang tak bergunung-gunung dan berbukit-bukit indah. Bahkan, Tsunami takkan
terjadi jika tanah ini tak dikelilingi samudra yang luas dan bergelombang
syahdu. Ya, seharusnya Indonesia tetap menjadi miniatur surga seperti
semestinya. Tapi ini realita, surga itu kian menjauh.
Kini
aku adalah dia, tanah Indonesia. Aku abu. Tanah. Aku pernah menyebutnya neraka.
Neraka tercipta bukan karena sebuah nama, tempat, melainkan sikap. Bukan tanahlah
yang menenggelamkan kata surga dalam
mata dunia, tapi Dewa Cinta. Walaupun masih tersisa Dewa Cinta yang pantas
menyandang kata cinta. Hanya
segelintir. Dia, Dewa Cinta akan tetap memisahkan dan menyatukan semesta
seenaknya. Ya, Dewa Cinta itu bernama M-A-N-U-S-I-A.”
(Note : Cerpen ini aku ikutin lomba Perhutani Green Pen Award 2015 dan jelas pastinya KALAH..wkwkwk)
sumbergambar : https://lh3.googleusercontent.com/kTWiVFrajW0E1bbRmiMm6JWSJcUc6hSj8TQgaXODxm4NFaJWMLyLxJUH0orliJUK59WcFg=s92
sumbergambar : https://lh3.googleusercontent.com/kTWiVFrajW0E1bbRmiMm6JWSJcUc6hSj8TQgaXODxm4NFaJWMLyLxJUH0orliJUK59WcFg=s92
0 komentar:
Posting Komentar