Halilintar menggelegar di langit muram.
Berkilauan menembus gelap. Membelah siluet mendung yang belum tumpah. Sulur
ganasnya menembus kaca-kaca, tirai, ventilasi hingga selekeh bilik. Menemani
cahaya lilin yang berpendar lirih dalam sepetak kamar .
Disibakkannya tirai hitam―yang beberapa pengaitnya telah
hilang― itu dengan perlahan. Semakin jelaslah
kilat itu berpendar, gerakannya melesat cepat. Titik-titik air mulai
nampak membasahi kaca jendela.
Meluruhkan debu-debu yang telah lama bersemayam.
“Arrrggggg… Hen, please! Dua puluh
tahun sudah kita hidup bersama. Seharusnya kau sudah hapal semua hal tentangku.
Tentang apa yang aku sukai dan juga aku benci.”
“Kamu ini ngomong apa? Tentu saja
aku hapal setiap detail hidupmu, bahkan lebih dari yang kau tahu.”
“Aku ini paling takut petir, lantas
kenapa kau buka tirainya? Kau tahu kan, aku ini phobia petir semenjak ayahku
mati tersambar keganasannya.”
“Ya tentu, tapi kehilanganmu jauh
lebih menakutkan daripada sambaran kilat sekalipun. Aku terpaksa, maafkan aku.
Tak ada cara lain untuk merebut perhatianmu, Mer. Daritadi aku berkoar-koar tapi kau tetap saja
tak mengindahkannya. Dengarkan aku, Mer! Kankermu bisa semakin parah kalau kau
terus-terusan begadang begini. Apalagi
terus-terusan di depan laptop seperti itu. Ditambah sekarang ini lagi mati
lampu, tak baik bagi kesehatan matamu. Istirahatlah, aku mohon. Sudah cukup aku
kehilangan Syila.”
Merry kembali memutar posisi duduk, kembali
berkutat dengan layar 12 inchinya. Dengan bibir bersungut ia berkata, “ Justru
itu, aku sedang membuat resep seperti yang anak kita lakukan dulu. Dia yang
terus bertahan hidup ditengah-tenagh kita meski kanker otak stadium empat telah
menggerogoti tubuhnya.”
“Tapi Asyila sudah mati,” lanjut
Henry lagi.
“Tidak, dia masih hidup! Bahkan
puluhan, ratusan dan ribuan tahun lagi.” Merry berseru dengan mata melotot
sembari menutup tirai jendelanya dengan kencang,
Henry hanya menggeleng-geleng
kepala. Dengan senyuman palsu ia pertahankan bulir-bulir air dari kelopaknya.
Jangan sampai jatuh dan terdengar isakan itu oleh istrinya. Meski dengan suara
parau ia terus membujuk istrinya untuk tidur. Nihil, seruannya ibarat angin
yang hanya berlalu melewati dedaunan, tanpa mampu menggugurkan.
“Tidurlah Hen. Aku nggak apa-apa.
Biarkan aku berjuang, hingga perjuangan itu menemui dua pilihan. Menyerah pada
takdir ataukah takdir itu yang menyerah pada perjuangan. “
*****
Malam
berlalu teramat gesit. Sisa hujan telah menyamarkan embun yang mulai meluruh.
Kicauan burung seakan menina bobokan
Merry yang lelah berjuang sepanjang malam. Ia yang semalaman duduk tegap,
berkutat dengan laptopnya. Ia nampak tertidur pulas dengan kursi sebagai kasur,
laptop sebagai bantal dan buku-buku sebagai gulingnya. Hingga ia pun tak sadar
jika beberapa buku telah meluncur dari atas meja. Berserakan di lantai dengan
beberapa lembarannya terlipat tumpang-tindih.
Henry
terbangun, berjalan terhuyung dengan mata berkunang-kunang. Tanpa sadar, air
liur masih menyeruak di sekitar bibir serta ampas
mata masih menancap di tepinya. Ia hampir jatuh tersandung buku-buku yang
berserakan itu. Dengan setengah sadar, iapun memungut buku itu satu-persatu.
Seketika
ia terbelalak saat nama Shy terpantul
jelas di sudut matanya. Ya, nama Shy yang
tercantum di depan cover novel itu adalah nama pena dari Asyila, anaknya yang
meninggal enam bulan lalu. Tidak hanya itu, beberapa lembar kertas yang
terselip dari buku-buku itupun jatuh menyeruak. Tentu, ia tidak asing lagi
dengan tulisan-tulisan itu. Itulah goresan-goresan pena Asyila saat dulu
berjuang melawan kanker otak.
Belek
dari matanya satu-persatu jatuh, terhanyut air mata yang mengalir deras. Ia memalingkan muka, hingga tanpa sengaja matanya
terhujam pada layar monitor di depan istrinya. Ms word dengan kursor berkedip-kedip itu membuatnya dihujani rasa
penasaran. Ditopang kepala istrinya itu dengan tangannya, lalu ia geser laptop
itu ke tepi meja. Di-scrollnya dokumen
itu ke atas, hingga judul itu terlihat jelas, “ Aku Masih Hidup”. Henry pun penasaran. Mulailah ia membaca dari
halaman pertama.
Hai, apa kabar
kau? Aku mohon, jawablah, “Aku baik-baik saja”. Walaupun sebenarnya aku tahu,
hati kecilmu berkata “tidak”. Aku tahu, kanker mungkin telah menjahit bibirmu,
hingga kau kehilangan senyum manis itu. Aku tahu, suara “kematianmu sebentar
lagi…kematianmu sebentar lagi” telah merobek gendang telingamu, hingga kau tak
dapat lagi mendengar kicauan indah burung-burung di pagi hari. Aku juga tahu, bayang-bayang
malaikat maut telah mengaburkan pandanganmu, hingga kerlingan mata orang yang
kau cintai tak terlihat indah lagi. Ya aku tahu semua tentangmu, tentang
penyakitmu, karena aku pernah merasakannya.
Tapi maaf, jika
kau mau bertemu langsung, minta tanda tangan atau berfoto bersama, aku tidak
bisa. Karena mungkin sekarang ragaku tiada lagi di dunia. Tenanglah, itu hanya
raga. Jiwaku, pikiranku, dan hatiku masih terus bersemayam abadi di dunia.
Bersama Asyila, putri kesayanganku yang juga telah tiada. Hmmm, maksudku
raganya, bukan jiwanya. Jiwanya masih tetap hidup bersama nama dan pemikarannya
yang terus berjalan di dunia. Abadi.
Aku sangat kagum
dan terinspirasi olehnya. Aku tak ingin ia berjalan sendirian dimuka bumi ini.
Aku ingin menemaninya. Maksudku, bukan hanya aku, tapi juga kalian. Untuk itu,
aku dedikasikan buku ini untuk kalian, seluruh penderita kanker di dunia.
Melalui buku ini, aku ingin meyakinkan kalian bahwa kanker bukan penyakit
mematikan. Karena kematian sesungguhnya bukan saat kalian terbunuh oleh suatu
penyakit, tapi….
Belum
usai Henry membacanya, Merry terbangun dan menangkap punggung tangannya yang
bertengger di atas keyboard. Ia pun bergegas menutup laptop dan merapikan
rambutnya yang rontok berserakan di atas
meja.
“Mer,
kenapa kau terus-terusan berkutat dengan
laptop itu? Kau tahukan, radiasinya sangat berbahaya. Kemoterapi yang kau
lakukan selama ini akan sia-sia.”
“Tidak
Hen, terpapar radiasi ataupun tidak, kanker ini tetap akan membunuhku. Sebelum
ia benar-benar malakukannya, aku ingin melakukan sesuatu yang bisa membuatku
tetap hidup, seperti anak kita.”
“Sudahlah
Mer, kamu terima saja kenyataan ini. Asyila sudah lama mati. Biarkan dia tenang
di sana. Sampai kapan kamu terus-terusan menganggapnya hidup seperti ini?”
“
Dia masih hidup!”
“
Tidak Mer, dia sudah mati.”
“Raganya
sudah mati, tapi jiwanya tidak. Tulisan-tulisan itu telah membuatnya terus
hidup hingga kini. Namanya tidak hanya terukir di batu nisan lalu tenggelam. Namanya
tetap ada, bersama sejarah pemikirannya yang tetap hidup. Dia masih hidup. Karena
menurutku, hidup atau mati bukan soal tegapnya raga.”
Merry
merapikan buku-bukunya dan kertas-kertas tulisan Asyila itu. Ia beranjak dari
tempat duduk seraya berkata , “ Aku mau ke penerbit. Aku harus menerbitkan
tulisan ini sebelum ragaku tak dapat lagi menggapainya. Hmmm, beberapa tulisan
di bukuku ini, diambil dari curhatan-curhatan Asyila di kertas-kertas itu. Kamu
setuju kan, Hen?”
Henry
hanya mengangguk pelan sembari menahan kepalan di tangannya. Lagi-lagi ia harus
berjuang seorang diri, menahan hujan di bola mata cokelatnya. Bertahan beberapa
menit sampai Merry membuka kepalan dan menyelipkan jemari di antara selanya.
Sambil memeluk Henry, Merry berbisik, “ Jangan takut Hen, aku baik-baik saja.”
(note: sumeber gambar https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcS-01LHUcaJoU8Mg9zC033LdIaDS4mp7y9IwIHnWGpih1yajHxoBg)
0 komentar:
Posting Komentar