Ciri bahwa manusia pernah hidup adalah dia pernah mempunyai masalah. Jika ada manusia yang hidupnya mulus-mulus saja, justru patut dipertanyakan, "Benarkah dia pernah hidup?" Dimasa yang semakin gila ini, kita bisa memilih dua hal, ikut menjadi gila atau justru semakin dewasa. Menurut seorang filsuf asli China, Mao Zedong
"Konflik bersifat semesta dan absolut, hal ini ada dalam proses perkembangan semua barang dan merasuki semua proses dari mula sampai akhir.”
Model
sejarah Karl Marx juga berdasarkan prinsip konflik: kelas yang menindas dan
kelas yang tertindas, kapital dan pekerjaan berada dalam sebuah konflik kekal.
Pada suatu saat hal ini akan menjurus pada sebuah krisis dan kaum pekerja akan
menang. Pada akhirnya situasi baru ini akan menjurus kepada sebuah krisis lagi,
tetapi secara logis semua
proses akhirnya menurut Mao, akan membawa kita kepada sebuah keseimbangan yang
stabil dan harmonis. Mao jadi berpendapat bahwa konflik bersifat semesta dan
absolut, jadi dengan kata lain bersifat abadi. Konsep konflik Mao ini ada
kemiripannya dengan konsep falsafi Ying-yang. Semuanya terdengar seperti sebuah dogma kepercayaan.
Konflik itu ada dua jenis, pertama konflik dengan diri sendiri dan yang kedua konflik dengan orang lain. Dimana konflik itu tercipta karena kesalahan dalam memandang sudut pandang. Sebelumnya apasih sudut pandang itu? Ya, sudut pandang adalah bagaimana dan dimana kita menempatkan diri dalam memandang suatu hal. Masalahnya, setiap orang menempatkan diri dan memiliki persepsi yang berbeda-beda dalam memandang suatu masalah. Hal inilah yang menimbulkan konflik antar manusia, bahkan merambah ke konflik diri.
Saya ambil beberapa
contoh, pertama saya ambil contoh analogi sebuah serabi. Ada dua sudut pandang
yang bisa membuat dua buah paradigma dalam teori serabi ini. Misalkan ada si X
dan si Y, Dua manusia ini semasa hidupnya baru sekali melihat makanan bernama serabi. Misalnya,
Si X kebagian memandang bagian depan yang penuh warna indah, mungkin si X langsung
berspekulasi bahwa serabi adalah sesuatu yang indah, enak, menggoda, positif
dan wajib dinikmati. Dilain sisi, ada si Y yang memandang serabi dari bagian
belakngnya yang gosong. Tentu si Y akan memiliki paradigma yang bertolak
belakang dengan si X. Dalam jiwanya, yang akan tertanam terkait definisi serabi, adalah gosong,
gelap, tidak enak, pahit, tidak menggoda. Jika si X dan si Y dipertemukan, akan
tergambar dua buah pemikiran bertolak belakang dari satu objek yang sama. Nah,
perbedaan inilah yang menjadi titik sebuah konflik. Lantas, apakah kita mau
menyalahkan si X yang karena ketidaktahuannya ia melihat keindahan, padahal si Y
melihat sesuatu yang bertolak belakang. Atau sebaiknya, kita akan menyalahkan
si Y?
"Segala sesuatu harus dipandang dari berbagai sisi, jika hidup tidak ingin diperbudak oleh konflik."
Lupakan dulu analogi
serabi. Sekarang saya berikan contoh yang lebih real. Saya ambil contoh Fatin
Sidqia Lubis, seorang penyanyi berhijab jebolan X Factor Indonesia. Apa yng
terlintas di Kepala Anda ketika melihat “Wanita berhijab menyanyi” atau “Penyanyi
Wanita Berhijab”? Mungkin Anda bertanya-tanya, apa bedanya dua statement itu? Tentu
saja beda. Konteks pertama, “Wanita berhijab menyanyi”, disini objek utamanya
adalah Wanita berhijab. Disini,
paradigmanya dipersempit kearah agama. Bagaimana sudut pandang agama memandang
seorang wanita berhijab menjadi penyanyi mungkin akan ada beberapa statement
yang menganggap ini lebih mengarah ke suatu kemunduran peradaban dengan alasan
sebagai berikut :
- Seorang ahli agama mungkin berpendapat bahwa suara adalah aurat perempuan, dan jilbab adalah simbol ketaatan.
- Seorang pejuang jilbab di tahun 80an mungkin berpendapat ini jelas-jelas kemunduran. “Bagaimana bisa dia bernyanyi, berjoget dengan mudahnya di depan orang banyak. Sedangkan saya dulu memakai hijab dengan penuh perjuangan, diskriminasi, dan berharga mahal. Lantas tidak ada harganya lagikah hijab itu sekarang?”
Berpindah ke konteks
yang kedua “Penyanyi wanita berhijab”, disini objek utamanya bukan lagi wanita berhijab, tapi penyanyi wanita. Bagaimana khalayak
memandang penyanyi wanita yang identik dengan pakaian minim dan aura sensual,
kini sudah bertransformasi. Disisi lain ini pun menjadi kemajuan disegi dunia
menyanyi, karena menyanyi bukan hanya milik mereka yang berpakaian seksi, tapi
menyanyi sudah berhasil menyentuh semuaa kalangan.
Golongan pertama bilang
ini kemunduran, golongan kedua bilang ini kemajuan, lantas siapa yang benar dan
siapa yang patut disalahkan? Jika kedua kubu saling kukuh dengan pendapat
masing-masing, disinilah akan timbul yang namnya konflik. Ingat, ini hanyalah
sepotong mozaik konflik, bukan keutuhan konflik. Kedua konflik itu tercipta
jika diambil dari sudut pandang orang Islam. Lain halnya jika semua agama
dilibatkan. Mungkin saja agama lain berpendapat hal yang bertolak belakang. “Wanita
berhijab menyanyi” adalah kemajuan, dan “Penyanyi wanita berhijab” itu
merupakan kemunduran.
Di zaman dimana
kepala-kepala manusia semakin tidak bisa dihitung, disitu akan tercipta sudut-sudut pandang yang lebih banyak dan kompleks. Lagi-lagi ditekankan, sudut pandang adalah
akar sebuah konflik. Jangan heran, setiap hari diberita kita dicekoki dengan
politisi, pengusaha dan artis berkonflik yang saling serang. Mereka memandang
dirinya adalah benar dan orang lain pasti salah. Benarkah demikian? Entahlah.
"Tidak ada kebenaran yang benar-benar benar, dan tidak ada kesalahan yang benar-benar salah jika sudut pandangnya adalah manusia. Karena sudut pandang yang mengetahui kebenaran dan kesalahan secara mutlak hanyalah Tuhan."
0 komentar:
Posting Komentar