Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 22 Maret 2016

Tanda Tania (?)


Image result for tanda tanya
Mata Ana terbelalak. Isi dompetnya kosong, hanya ada selembar  kertas resi bukti transaksi tadi malam. Lembaran-lembaran merah itu raib, bukan hanya sekali, tapi puluhan kali. Jangankan lembaran berwarna merah, warna biru, hjau, cokelat bahkan koin-koin putih tak berharga pun selalu ludes. Anehnya, selalu ada cairan berwarna merah, terkadang basah terkadang  kering. Bau amis pun terkadang tercium samar-samar.


Cairan merah itu selalu mengikuti kemana uang-uang itu disimpan. Hanya posisinya saja yang berubah. Kemarin di atas bantal, seminggu yang lalu di lantai dekat lemari, dan sekarang di bawah ranjang, dekat pintu. Padahal, Ana sengaja menaruh dompetnya di bawah selimut diujung kaki. Ah, lagi-lagi Ana kalah cerdik.
“Licik! Sangat licik, terlalu licik, semakin licik. Dasar licik, sekali licik tetap licik. ” Kata Ana sembari melempar ludah kepada wanita yang masih tertidur di bawah selimut, dengan wajah tertutup guling.  
Tiba-tiba, Ana gelagapan . Wanita itu tiba-tiba terbangun. Perutnya terantuk kursi, dan kakinya menabrak kaleng cat air. Tutupnya terlempar dan cairan berwarna merah itu tumpah. Mengalir menerobos sela-sela sambungan keramik yang berpola kotak-kotak.

Tanpa berkata satu katapun, Ana berlari keluar, lalu kembali membawa peralatan pel. Sementara Vella, bekerja lebih cepat,  mengambil handuk kecil yang dibasahi dengan air minum dan membersihkan tumpahan cat itu.
 Ana bersungut dengan mata merah menyala. Tak peduli sudah bersih atau belum, Ana tetap memaju-mundurkan tongkat pel-nya . Tak sedikitpun matanya menoleh ke arah ubin. Ia terus menatap langit-langit dengan kilatan yang siap menyambar. Beberapa kali alat pel Ana mengenai jemari Vella. Bahkan, jari manis Vella tergores paku kecil yang menancap di gagangnya. Cairan berwarna sama dengan warna cat itu pun merembas keluar. Membasahi dan mengotori lantai.
Ana masih bertahan. Berjalan tanpa kata, menatap tanpa sapa. Ia keluar sambil memukul-mukul gagang alat pel-nya ke dinding. Keluar, berjalan dengan pandangan lurus. Sampai di ujung pintu, ia menolehkan wajahnya sejenak. Lagi-lagi cairan dari mulutnya ia semprotkan dengan nada “cih!”.  Beberapa detik cairan itu menggembung di udara sampai akhirnya jatuh ke lantai.
*####*
Dari lantai lima asrama, Ana berdiri di depan pintu kamarnya sambil menghapalkan teks pidato untuk kampanye besok malam. Sesekali ia menyandarkan dagunya pada pagar pembatas. Sesekali melihat betapa kecilnya orang-orang yang dibawah itu ia lihat. Sambil menstimulasi diri, bahwa esok hanyalah masalah kecil yang harus bisa ia hadapi. Tak jarang juga ia memejamkan mata sambil menggerak-gerakkan tangan dan kakinya dengan penuh semangat.
Mengedapkan suara dengan headset adalah pilihan terbaik untuk memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Keriuhan orang-orang yang sedang bergosip, tertawa sendiri menonton anime, menangisi drama korea, maupun menelopon dengan loudspeaker membuatnya kehilangan kata-kata.  
Tanpa sadar, kakinya yang menyila serta meregang kebelakang itu menghalangi jalan. Beberapa kali orang berlalu lalang, hampir terjatuh. Ia tetap tak peduli.
“Misi!” Seseorang menyabut sumpalan di daun telinganya. Ana kaget. Tangannya bergetar, kertas catatan itu jatuh dari genggamannya. Terbang perlahan, berputar di udara, berjalan zig-zag.  Jatuh di diantara jemuran baju yang masih basah, di lantai satu.
Berbeda saat bersitatap dengan Vella, kali ini Ana menyunggingkan senyumnanya walau sesenti. Wanita itu membalas senyum dengan lebih lebar lagi. Meski, wanita itu beberapa kali terlihat memegang-megang kepalanya dengan napas tersengal.
Wanita itu tetap berusaha tersenyum. Mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke atas sambil menepuk-nepuk bahu Ana. “Semangat, kamu pasti bisa!” Wanita kurus pendek itu melontarkan kalimat sambil berjalan mundur, masuk ke dalam kamar. Kamar dimana Ana biasa bermimpi dan berusaha merajutnya. Ya, Tania. Teman sekamar Ana. Di kamar nomor 35 itu, Ana, Tania dan Vella berjuang menata mimpi dengan tiga tujuan berbeda, seniman, teknokrat dan ilmuwan. Satu hal yang membuat mereka sama hanyalah takdir keluarga. Ketiganya  sama-sama ditakdirkan terlahir dari keluarga sederhana.  Takdir kembali mengikat mereka dalam satu ruang yang sama. Tempat tidur Ana berada di dekat pintu, Vella di dekat jendela dan Tania berada di antara keduanya.
Hubungan Vella dan Ana berubah dari kawan menjadi lawan semenjak pesta demokrasi di kampus itu dimulai, dua bulan lalu. Beruntung, dari lima pendaftar, hanya mereka berdua yang lolos verifikasi. Berbeda dengan Vella dan Ana yang selalu berkobar, Tania sangat tertutup dan jarang terlihat.
“Tan, kamu rela kampus kita yang besar itu dipimpin calon koruptor?”
“Aku sama sekali tak mengerti. Apa dan siapa yang kau maksud itu, An?”
“ Ya Vellalah, dia maling kelas kakap. Seorang calon ketua BEM yang disanjung-sanjung, diprediksi bakal memenangkan hati massa itu, tak lebih hanyalah seorang koruptor. Kampus dan negeri kita akan hancur kalau sampai dia yang terpilih.”
“Ya ampun, An. Kenapa kamu jadi black campign begini? Koruptor bagaimana maksudmu? Vella itu orang baik.”
“Dia pencuri, Tan, dia pencuri. Kamu tahukan, akhir-akhir ini uangku selalu hilang. Puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan pernah satu juta. Kamu bayangkan, satu juta. Apa bedanya pencuri sama koruptor? Sama-sama mengambil  yang bukan haknya, bukan? Mental Vella itu bukan pemimpin, tapi koruptor.”
“Tapi buat apa?”
“Tan, Tan, ya buat kampanye lah. Dia suap massa  satu persatu, biar semua orang milih dia. Aku tahu, kita memang sama-sama penerima beasiswa. Sama-sama bukan dari keluarga berada. Tapi, setidaknya aku sedikit lebih berada dan bermodal dari dia. Aku punya banyak tabungan dan masih dikirimi uang saku tambahan. Lah, dia anak yatim piatu yang hanya tinggal sama neneknya yang seorang penjual serabi itu. Mana ada modal buat begituan kalo nggak nyampi jadi maling. “
“hemmm..uhuk…uhuk…”
“Minum, Tan.” Ana mengalihkan pembicaraan sejenak. Menyodorkan botol air minum bersegel yang ia keluarkan dari dalam tasnya. Tania menolak.
“Dia memang selalu menjadi rivalku sejak SMP. Yang jelas, aku tak pernah dan tak akan pernah kalah darinya. Tenang Tan, aku sudah mengumpulan bukti-bukti. Menyebarkan isu, ya dengan sedikit bumbu. Bukan politik namanya kalau nggak pakai bumbu.”
“Oh.”
“ Oh? Kamu harusnya bilang ‘wow’. Tan, aku sudah melaporkannya kepada pihak panitia bahkan rektorat. ‘Calon Ketua BEM mencuri demi menyuap massa’. Wow, menarik bukan? Entahlah, harusnya aku sedih. Ini musibah, tetapi aku pikir ini semua anugerah. Entah kenapa aku merasa senang uang-uangku dicuri. Tan..”
Ana menatap heran. Dari tadi Tania membekam hidung dan mulutnya dengan tissue. Satu bungkus tissue yang baru ia buka segelnya kini tinggal sehelai. Ia mencengkeram seprei, memalingkan muka dan bergegas lari keluar. Terlihat di sprei warna putih polos itu, bekas cakaran. Membekas merah, dengan tambahan aroma yang sedikit anyir.”
Ana tidak peduli. Ambisinya lebih menggairahkan untuk dikejar, daripada mengejar seorang wanita misterius itu. Ia lantas sibuk dengan gadgetnya, tanpa mau tahu apa yang sedang terjadi dengan Tania. Sibuk membroadcast pesan di BBM, menge-share  tulisan ke beberapa grup dan timeline di line. Membalas komen-komen simpatisme massa di facebook, membalas satu persatu mention twitter dengan hashtage #kampuskamiantikoruptor dan #Akudidzolimi. Sesekali ia tersenyum sendiri, saat likers dari beberapa postingnnya bertambah satu demi satu.
Dunianya tak juga berubah sejak siang tadi. Lupa makan, lupa mandi dan lupa bahwa matahari sudah lelah mengintipnya dari celah jendela. Lupa akan kegelapan yang teramat merindu cahaya lampu yang benderang. Semua gelap. Baru berubah terang saat Vella datang.
Ana memiringkan bibir dan menatap ala pemain jahat perebut warisan di sinetron-sinetron Indonesia. Sementara Vella langsung menaruh tas ke atas meja belajarnya. Duduk bersila di lantai, kembali mengambil kuas, cat dan kanvas lukisannya yang hampir jadi.
Selang beberapa saat kemudian, Tania datang dengan mata sembab dan muka pucat. Ia berjalan sempoyongan.  Ana hendak bangun  membantu, tapi isyarat tanganTania mengelaknya.
“Aku baik-baik saja.” Ia berkata lirih sambil melempar tas, menarik selimut dan memiringkan badan kearah Vella. Vella tak menorah sedikitpun. Entah, mungkin belum menyadari Tania sudah pulang. Ah, sadarpun ia tetap tak peduli. Dunianya terlalu indah untuk dipalingkan.
Ana meregangkan badan. Meneguk segelas kopi, lalu berpura-pura tidur. Ya, dia hanya berpura-pura. Malam ini, semuanya akan terungkap. Ia siapkan uang tergeletak di atas lemari dengan pintu yang sedikit terbuka.
 Ia memiringkan badan ke arah tembok. Sesekali menorah ke belakang. Lagi-lagi ia dapati Vella masih asyik dengan kuasnya. Sesekali Vella menyandarkan kepalanya di atas ranjang sambil memeluk guling. Sesekali juga ia membaringkan mukanya di atas lantai dengan buku-buku sebagai bantal. Ia bangkit, dan bangkit lagi demi lukisan itu. Kejadian itu, diintip Ana secara berulang-ulang.dan berputar-putar.
Saat jam telah menunjukkan pukul 02.00 WIB, akhirnya Vella menyerah. Ia merebahkan badannya dengan tangan dan wajah yang belepotan tinta berwarna merah.
Ana masih terjaga, mesti setiap lima menit sekali ia terpejam. Efek kopinya sedikit bekerja. Tidak seperti biasanya yang selalu pulas saat tertidur. Kali ini, dia sanggup membuka mata lebih lama. Berpura-pura terpejam dan menghadap ke tembok. Memperhatikan setiap ada bayangan aneh di depannya.  
Suara langkah kaki terdengar sayup-sayup. Bunyi lemari yang dibuka penuh kehati-hatian langsung mengaktifkan radar amarahnya. Suara koin yang jatuh satu-persatu ke lantai menambah energinya untuk terus menahan sesak. Ia mengepal tangan, menarik napas dalam-dalam. Meraba, hingga sebuah tangan berhasil digenggamnya. Ia membalikkan badan dan berteriak, ”Kena kau, Vel!”
Mata yang semula hanya setengah terbuka itu kini benar-benar terbuka sempura. Mulutnya menganga. Menggeleng-gelengkan kepala. Dilepaskannya tangan itu perlahan
“T-a-n-i-a.”
Tania menitihkan air mata, dengan dua lembar uang seratus ribuan yang diremasnya ditangan kanan. Seketika, cairan merah menetes dari hidungnya. deras. Menjelma gincu yang memerahkan bibirnya yang putih pucat.
“Jadi kamu pelakunya?” Ana memberontak sambil menitihkan air mata.
“Maaf.”
“Tapi kenapa? Buat apa?”
“Aku butuh uang untuk membeli obat. Aku divonis terkena kanker. Dan aku ga mau seorang pun tahu, termasuk nenekku. Aku hanya ingin menanggung semuanya sendiri.”
Ana jatuh terjerambab di lantai. Memukul-mukul meja,  memeluk punggung kursi dan mengalirkan air mata yang merembas masuk ke busanya. Tania mengulurkan tangan, Ana mengelak. Ia mencoba bangun, sesekali jatuh dan mencoba bangun kembali.
Tempat jemuran di lantai enam, tempat favorit untuk menyendiri. Menatap sesal. Membunuh pedih. Merangkai kembali napas yang tersengal agar kembali normal. Tak peduli mesti disana tak ada lampu penerangan. Baginya, membuka mata dengan atau tanpa lampu bukanlah hal yang berbeda sekarang.
Ia berdiri menatap langit. Mendengar sunyi. Hingga kokok ayam dan suara azan mengembalikan pendengarannya. Pagi pun menyalakan terang, perlahan. Meski, tak sedikitpun mengubah hatinya yang terlanjur gelap, tertutup sebuah tanda tanya.
Seusai berjam-jam berdiri. Ia mengumpulan energi untuk turun ke bawah. Kaki yang gemetaran akibat kesemutan itu bertambah parah saat segerombolan mahasaiswa dari asrama  terlihat bergumul di depan pintu kamarnya.
Beberapa orang langsung menarik, memeluk, dan berkata, “Sabar ya, An.”
Sementara Vella, terus tertunduk di atas lantai sembari memabaca satu persatu berita fitnah tentang dirinya di sosmed. Ditambah kicauan teman-temannya yang tak berhenti meneriakinya, “Maling!”
Vella menatap Ana tajam. Ia bangun sambil menarik handuk dan menyelimpangkan di bahunya. Sesekali digunakan untuk menghapus air disudut-sudut matanya.
“Aku tak pernah sedikitpun untuk berupaya mengalahkanmu. Aku hanya berupaya mengalahkan diriku sendiri. Aku tahu, sampai kapanpun kau akan selalu menajdi pemenang dan aku tetap pecundang. Tapi, kali ini sudah sangat keterlaluan.”  Vella berbicara sengau dengan tangan kanan dan kiri yang terus bergantian mengusap air matan.
 “Selamat ulang tahun. Aku buatkan ini khusus untuk hadiah ulang tahun sekaligus kemenaganmu. Karena aku begitu yakin, kau pasti menang dan akan selalu menang atas siapapun.” Vella menyodorkan sebuah lukisan. Dalam lukisan itu tergambar seorang perempuan berbaju merah, sedang berdiri di podium dengan  ribuan penonton. Dibelakang wanita itu tergambar bendera merah putih, dengan warna merah yang belum utuh tergores.
“Maaf, belum selesei. Sayang, kau menghancurkannya sebelum bendera ini terlihat benar-benar berkibar.”  Vella menepuk bahu Ana, menyentuh tangannya sesaat, lalu berjalan menjauh. Menerobos kerumunan sambil membawa perlengkapan mandinya.
Para penghuni asrama sontak riuh meneriakinya: maling, calon koruptor, pemimpin busuk serta  bangkai. Sementara Ana masih menatap kosong. Tak berkutik melototkan mata kearah depan. Mengikuti gerak punggung Vella yang berjalan menjauh. Di sela-sela riuh orang-orang yang mencemooh Vella, menyemangati Ana, terdengar pula  orang yang berbisik perihal Tania. Ia jatuh pingsan dengan hidung yang berlumur darah. Sekarang ia dibawa ke rumah sakit.
Lagi-lagi, Ana tak peduli. Baginya, kesalahannya lebih menyakitkan dan mematikan dari penyakit kanker yang diderita Tania. Sampai sekarang kepalanya masih dipenuhi tanda tanya, tentang tanda-tanda Tania yang tak pernah ia sangka.

sumber gambar : ujiansma.com



0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

liukan pelangi

Wavy Tail

Blogroll

About