Mata Ana terbelalak.
Isi dompetnya kosong, hanya ada selembar
kertas resi bukti transaksi tadi malam. Lembaran-lembaran merah itu raib,
bukan hanya sekali, tapi puluhan kali. Jangankan lembaran berwarna merah, warna
biru, hjau, cokelat bahkan koin-koin putih tak berharga pun selalu ludes.
Anehnya, selalu ada cairan berwarna merah, terkadang basah terkadang kering. Bau amis pun terkadang tercium
samar-samar.
Cairan merah itu selalu
mengikuti kemana uang-uang itu disimpan. Hanya posisinya saja yang berubah.
Kemarin di atas bantal, seminggu yang lalu di lantai dekat lemari, dan sekarang
di bawah ranjang, dekat pintu. Padahal, Ana sengaja menaruh dompetnya di bawah
selimut diujung kaki. Ah, lagi-lagi Ana kalah cerdik.
“Licik! Sangat licik, terlalu
licik, semakin licik. Dasar licik, sekali licik tetap licik. ” Kata Ana sembari
melempar ludah kepada wanita yang masih tertidur di bawah selimut, dengan wajah
tertutup guling.
Tiba-tiba, Ana
gelagapan . Wanita itu tiba-tiba terbangun. Perutnya terantuk kursi, dan kakinya
menabrak kaleng cat air. Tutupnya terlempar dan cairan berwarna merah itu
tumpah. Mengalir menerobos sela-sela sambungan keramik yang berpola kotak-kotak.
Tanpa berkata satu
katapun, Ana berlari keluar, lalu kembali membawa peralatan pel. Sementara Vella, bekerja lebih
cepat, mengambil handuk kecil yang
dibasahi dengan air minum dan membersihkan tumpahan cat itu.
Ana bersungut dengan mata merah menyala. Tak peduli
sudah bersih atau belum, Ana tetap memaju-mundurkan tongkat pel-nya . Tak
sedikitpun matanya menoleh ke arah ubin. Ia terus menatap langit-langit dengan
kilatan yang siap menyambar. Beberapa kali alat pel Ana mengenai jemari Vella. Bahkan, jari manis Vella tergores
paku kecil yang menancap di gagangnya. Cairan berwarna sama dengan warna cat
itu pun merembas keluar. Membasahi dan mengotori lantai.
Ana masih bertahan.
Berjalan tanpa kata, menatap tanpa sapa. Ia keluar sambil memukul-mukul gagang
alat pel-nya ke dinding. Keluar, berjalan dengan pandangan lurus. Sampai di ujung
pintu, ia menolehkan wajahnya sejenak. Lagi-lagi cairan dari mulutnya ia
semprotkan dengan nada “cih!”. Beberapa
detik cairan itu menggembung di udara sampai akhirnya jatuh ke lantai.
*####*
Dari lantai lima
asrama, Ana berdiri di depan pintu kamarnya sambil menghapalkan teks pidato
untuk kampanye besok malam. Sesekali ia menyandarkan dagunya pada pagar
pembatas. Sesekali melihat betapa kecilnya orang-orang yang dibawah itu ia lihat.
Sambil menstimulasi diri, bahwa esok hanyalah masalah kecil yang harus bisa ia
hadapi. Tak jarang juga ia memejamkan mata sambil menggerak-gerakkan tangan dan
kakinya dengan penuh semangat.
Mengedapkan suara dengan
headset adalah pilihan terbaik untuk memusatkan perhatian pada dirinya sendiri.
Keriuhan orang-orang yang sedang bergosip, tertawa sendiri menonton anime,
menangisi drama korea, maupun menelopon dengan loudspeaker membuatnya kehilangan kata-kata.
Tanpa sadar, kakinya yang
menyila serta meregang kebelakang itu menghalangi jalan. Beberapa kali orang
berlalu lalang, hampir terjatuh. Ia tetap tak peduli.
“Misi!” Seseorang menyabut
sumpalan di daun telinganya. Ana kaget. Tangannya bergetar, kertas catatan itu jatuh
dari genggamannya. Terbang perlahan, berputar di udara, berjalan zig-zag. Jatuh di diantara jemuran baju yang masih
basah, di lantai satu.
Berbeda saat bersitatap
dengan Vella, kali ini Ana menyunggingkan senyumnanya walau sesenti. Wanita itu
membalas senyum dengan lebih lebar lagi. Meski, wanita itu beberapa kali
terlihat memegang-megang kepalanya dengan napas tersengal.
Wanita itu tetap
berusaha tersenyum. Mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke atas sambil
menepuk-nepuk bahu Ana. “Semangat, kamu pasti bisa!” Wanita kurus pendek itu
melontarkan kalimat sambil berjalan
mundur, masuk ke dalam kamar. Kamar dimana Ana biasa bermimpi dan berusaha
merajutnya. Ya, Tania. Teman sekamar Ana. Di kamar nomor 35 itu, Ana, Tania dan
Vella berjuang menata mimpi dengan tiga tujuan berbeda, seniman, teknokrat dan
ilmuwan. Satu hal yang membuat mereka sama hanyalah takdir keluarga. Ketiganya sama-sama ditakdirkan terlahir dari keluarga
sederhana. Takdir kembali mengikat
mereka dalam satu ruang yang sama. Tempat tidur Ana berada di dekat pintu,
Vella di dekat jendela dan Tania berada di antara keduanya.
Hubungan Vella dan Ana
berubah dari kawan menjadi lawan semenjak pesta demokrasi di kampus itu
dimulai, dua bulan lalu. Beruntung, dari lima pendaftar, hanya mereka berdua
yang lolos verifikasi. Berbeda dengan Vella dan Ana yang selalu berkobar, Tania
sangat tertutup dan jarang terlihat.
“Tan, kamu rela kampus
kita yang besar itu dipimpin calon koruptor?”
“Aku sama sekali tak
mengerti. Apa dan siapa yang kau maksud itu, An?”
“ Ya Vellalah, dia
maling kelas kakap. Seorang calon ketua BEM yang disanjung-sanjung, diprediksi
bakal memenangkan hati massa itu, tak lebih hanyalah seorang koruptor. Kampus
dan negeri kita akan hancur kalau sampai dia yang terpilih.”
“Ya ampun, An. Kenapa kamu
jadi black campign begini? Koruptor
bagaimana maksudmu? Vella itu orang baik.”
“Dia pencuri, Tan, dia
pencuri. Kamu tahukan, akhir-akhir ini uangku selalu hilang. Puluhan ribu,
ratusan ribu, bahkan pernah satu juta. Kamu bayangkan, satu juta. Apa bedanya pencuri sama koruptor? Sama-sama mengambil yang bukan haknya, bukan? Mental Vella itu
bukan pemimpin, tapi koruptor.”
“Tapi buat apa?”
“Tan, Tan, ya buat
kampanye lah. Dia suap massa satu
persatu, biar semua orang milih dia. Aku tahu, kita memang sama-sama penerima
beasiswa. Sama-sama bukan dari keluarga berada. Tapi, setidaknya aku sedikit
lebih berada dan bermodal dari dia. Aku punya banyak tabungan dan masih
dikirimi uang saku tambahan. Lah, dia anak yatim piatu yang hanya tinggal sama
neneknya yang seorang penjual serabi itu. Mana ada modal buat begituan kalo
nggak nyampi jadi maling. “
“hemmm..uhuk…uhuk…”
“Minum, Tan.” Ana mengalihkan
pembicaraan sejenak. Menyodorkan botol air minum bersegel yang ia keluarkan
dari dalam tasnya. Tania menolak.
“Dia memang selalu menjadi
rivalku sejak SMP. Yang jelas, aku
tak pernah dan tak akan pernah kalah darinya. Tenang Tan, aku sudah mengumpulan
bukti-bukti. Menyebarkan isu, ya dengan sedikit bumbu. Bukan politik namanya
kalau nggak pakai bumbu.”
“Oh.”
“ Oh? Kamu harusnya
bilang ‘wow’. Tan, aku sudah melaporkannya kepada pihak panitia bahkan
rektorat. ‘Calon Ketua BEM mencuri demi menyuap massa’. Wow, menarik bukan? Entahlah,
harusnya aku sedih. Ini musibah, tetapi aku pikir ini semua anugerah. Entah
kenapa aku merasa senang uang-uangku dicuri. Tan..”
Ana menatap heran. Dari
tadi Tania membekam hidung dan mulutnya dengan tissue. Satu bungkus tissue
yang baru ia buka segelnya kini tinggal sehelai. Ia mencengkeram seprei,
memalingkan muka dan bergegas lari keluar. Terlihat di sprei warna putih polos itu,
bekas cakaran. Membekas merah, dengan tambahan aroma yang sedikit anyir.”
Ana tidak peduli.
Ambisinya lebih menggairahkan untuk dikejar, daripada mengejar seorang wanita
misterius itu. Ia lantas sibuk dengan gadgetnya, tanpa mau tahu apa yang sedang
terjadi dengan Tania. Sibuk membroadcast pesan di BBM, menge-share tulisan ke beberapa grup dan timeline di line. Membalas komen-komen simpatisme massa di facebook, membalas
satu persatu mention twitter dengan hashtage
#kampuskamiantikoruptor dan #Akudidzolimi. Sesekali ia tersenyum sendiri, saat
likers dari beberapa postingnnya bertambah satu demi satu.
Dunianya tak juga berubah
sejak siang tadi. Lupa makan, lupa mandi dan lupa bahwa matahari sudah lelah
mengintipnya dari celah jendela. Lupa akan kegelapan yang teramat merindu
cahaya lampu yang benderang. Semua gelap. Baru berubah terang saat Vella datang.
Ana memiringkan bibir
dan menatap ala pemain jahat perebut warisan di sinetron-sinetron Indonesia.
Sementara Vella langsung menaruh tas ke atas meja belajarnya. Duduk bersila di
lantai, kembali mengambil kuas, cat dan kanvas lukisannya yang hampir jadi.
Selang beberapa saat
kemudian, Tania datang dengan mata sembab dan muka pucat. Ia berjalan sempoyongan.
Ana hendak bangun membantu, tapi isyarat tanganTania mengelaknya.
“Aku baik-baik saja.”
Ia berkata lirih sambil melempar tas, menarik selimut dan memiringkan badan kearah
Vella. Vella tak menorah sedikitpun. Entah, mungkin belum menyadari Tania sudah
pulang. Ah, sadarpun ia tetap tak peduli. Dunianya terlalu indah untuk
dipalingkan.
Ana meregangkan badan.
Meneguk segelas kopi, lalu berpura-pura tidur. Ya, dia hanya berpura-pura.
Malam ini, semuanya akan terungkap. Ia siapkan uang tergeletak di atas lemari
dengan pintu yang sedikit terbuka.
Ia memiringkan badan ke arah tembok. Sesekali
menorah ke belakang. Lagi-lagi ia dapati Vella masih asyik dengan kuasnya.
Sesekali Vella menyandarkan kepalanya di atas ranjang sambil memeluk guling.
Sesekali juga ia membaringkan mukanya di atas lantai dengan buku-buku sebagai bantal.
Ia bangkit, dan bangkit lagi demi lukisan itu. Kejadian itu, diintip Ana secara
berulang-ulang.dan berputar-putar.
Saat jam telah
menunjukkan pukul 02.00 WIB, akhirnya Vella menyerah. Ia merebahkan badannya
dengan tangan dan wajah yang belepotan tinta berwarna merah.
Ana masih terjaga,
mesti setiap lima menit sekali ia terpejam. Efek kopinya sedikit bekerja. Tidak
seperti biasanya yang selalu pulas saat tertidur. Kali ini, dia sanggup membuka
mata lebih lama. Berpura-pura terpejam dan menghadap ke tembok. Memperhatikan
setiap ada bayangan aneh di depannya.
Suara langkah kaki
terdengar sayup-sayup. Bunyi lemari yang dibuka penuh kehati-hatian langsung
mengaktifkan radar amarahnya. Suara koin yang jatuh satu-persatu ke lantai
menambah energinya untuk terus menahan sesak. Ia mengepal tangan, menarik napas
dalam-dalam. Meraba, hingga sebuah tangan berhasil digenggamnya. Ia membalikkan
badan dan berteriak, ”Kena kau, Vel!”
Mata yang semula hanya
setengah terbuka itu kini benar-benar terbuka sempura. Mulutnya menganga. Menggeleng-gelengkan
kepala. Dilepaskannya tangan itu perlahan
“T-a-n-i-a.”
Tania menitihkan air
mata, dengan dua lembar uang seratus ribuan yang diremasnya ditangan kanan. Seketika,
cairan merah menetes dari hidungnya. deras. Menjelma gincu yang memerahkan
bibirnya yang putih pucat.
“Jadi kamu pelakunya?”
Ana memberontak sambil menitihkan air mata.
“Maaf.”
“Tapi kenapa? Buat
apa?”
“Aku butuh uang untuk
membeli obat. Aku divonis terkena kanker. Dan aku ga mau seorang pun tahu, termasuk
nenekku. Aku hanya ingin menanggung semuanya sendiri.”
Ana jatuh terjerambab
di lantai. Memukul-mukul meja, memeluk punggung
kursi dan mengalirkan air mata yang merembas masuk ke busanya. Tania
mengulurkan tangan, Ana mengelak. Ia mencoba bangun, sesekali jatuh dan mencoba
bangun kembali.
Tempat jemuran di
lantai enam, tempat favorit untuk menyendiri. Menatap sesal. Membunuh pedih.
Merangkai kembali napas yang tersengal agar kembali normal. Tak peduli mesti disana
tak ada lampu penerangan. Baginya, membuka mata dengan atau tanpa lampu
bukanlah hal yang berbeda sekarang.
Ia berdiri menatap
langit. Mendengar sunyi. Hingga kokok ayam dan suara azan mengembalikan
pendengarannya. Pagi pun menyalakan terang, perlahan. Meski, tak sedikitpun
mengubah hatinya yang terlanjur gelap, tertutup sebuah tanda tanya.
Seusai berjam-jam
berdiri. Ia mengumpulan energi untuk turun ke bawah. Kaki yang gemetaran akibat
kesemutan itu bertambah parah saat segerombolan mahasaiswa dari asrama terlihat bergumul di depan pintu kamarnya.
Beberapa orang langsung
menarik, memeluk, dan berkata, “Sabar ya, An.”
Sementara Vella, terus tertunduk di atas
lantai sembari memabaca satu persatu berita fitnah tentang dirinya di sosmed.
Ditambah kicauan teman-temannya yang tak berhenti meneriakinya, “Maling!”
Vella menatap Ana
tajam. Ia bangun sambil menarik handuk dan menyelimpangkan di bahunya. Sesekali
digunakan untuk menghapus air disudut-sudut matanya.
“Aku tak pernah
sedikitpun untuk berupaya mengalahkanmu. Aku hanya berupaya mengalahkan diriku
sendiri. Aku tahu, sampai kapanpun kau akan selalu menajdi pemenang dan aku
tetap pecundang. Tapi, kali ini sudah sangat keterlaluan.” Vella berbicara sengau dengan tangan kanan dan
kiri yang terus bergantian mengusap air matan.
“Selamat ulang tahun. Aku buatkan ini khusus
untuk hadiah ulang tahun sekaligus kemenaganmu. Karena aku begitu yakin, kau
pasti menang dan akan selalu menang atas siapapun.” Vella menyodorkan sebuah
lukisan. Dalam lukisan itu tergambar seorang perempuan berbaju merah, sedang berdiri
di podium dengan ribuan penonton.
Dibelakang wanita itu tergambar bendera merah putih, dengan warna merah yang
belum utuh tergores.
“Maaf, belum selesei.
Sayang, kau menghancurkannya sebelum bendera ini terlihat benar-benar berkibar.” Vella menepuk bahu Ana, menyentuh tangannya
sesaat, lalu berjalan menjauh. Menerobos kerumunan sambil membawa perlengkapan
mandinya.
Para penghuni asrama
sontak riuh meneriakinya: maling, calon
koruptor, pemimpin busuk serta bangkai.
Sementara Ana masih menatap kosong. Tak berkutik melototkan mata kearah depan.
Mengikuti gerak punggung Vella yang berjalan menjauh. Di sela-sela riuh orang-orang
yang mencemooh Vella, menyemangati Ana, terdengar pula orang yang berbisik perihal Tania. Ia jatuh
pingsan dengan hidung yang berlumur darah. Sekarang ia dibawa ke rumah sakit.
Lagi-lagi, Ana tak
peduli. Baginya, kesalahannya lebih
menyakitkan dan mematikan dari penyakit kanker yang diderita Tania. Sampai
sekarang kepalanya masih dipenuhi tanda tanya, tentang tanda-tanda Tania yang
tak pernah ia sangka.
sumber gambar : ujiansma.com
0 komentar:
Posting Komentar