Mengulang hari
spesialnya, lelaki itu memakai sepatu pantofel, kemeja putih, jas hitam, dasi
biru, medali, dan toga. Dia berdiri lusuh sambil membentangkan selembar ijazah
tepat searah garis lurus matanya. Percuma ! Puing-puing kepedihan itu tak mampu
ditutupi hanya dengan selembar kertas. Tulisan
cumlaude seolah hanya tumpahan tinta
yang tak bermakna apa-apa.
“Pria malang!” Teriakku lirih,
lalu tertawa getir.
Ya, pria malang itu aku. Seusai
tertawa palsu, aku tercenung dengan mata yang menggeriap. Pagi yang cerah ini,
terlihat seperti temaram. Tubuhku ambruk
perlahan ke tanah. Kumasukkan ijazah itu ke dalam tote bag bersama bunga warna-warni yang telah layu. Jemariku
mengais tanah, dan menyapu setiap puing-puing yang berserakan. Kugenggam erat
bongkahan tanah bercampur arang itu, lalu kuletakkan di depan dada. Rasanya seperti terhunus pedang yang sangat tajam. Mungkin,
dalam secuil tanah ini, ada darah Ayah yang mengering atau mungkin ada rambut Ibu yang berubah menjadi
abu. Barangkali, dalam segenggam tanah ini, ada sisa-sisa seragam batik wisuda
keluarga yang telah hangus.
“Pembunuh, tidak ada kata maaf untukmu!” Teriakku lantang sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah langit.
Tubuhku bergidik. Decitan
jendela yang dibuka perlahan tiba-tiba mengaburkan lamunanku. Terlihat jelas, seorang
wanita berpakaian seksi keluar mengendap-endap dari jendela rumah di samping
puing-puing istanaku. Ya, itu rumah Doni,
tetangga sekaligus teman kuliahku yang hidupnya terlihat sempurna.
Baru beberapa langkah,
wanita itu berbalik arah, bergegas masuk ketika lelaki mabuk berbadan
gemuk memarkirkan mobil di depan rumah
dua lantai itu. “Ayahmu datang,” bisik wanita itu sesaat sebelum ia kembali
masuk ke dalam jendela kamar Doni.
Apa yang terlihat dalam
pandangan seakan menambah getir amarahku. Pembunuh itu salah sasaran.
Seharusnya rumah itu yang dibakar. Yang seharusnya dihabisi nyawanya adalah
mereka, bukan orang tuaku yang tak berdosa. Bagaimana bisa, anak buah itu salah
alamat.
Saat memutar badan 45
derajat, tiba-tiba mataku semakin memberat. Ada bulir air yang tak mampu lagi
dibendung. Sepeda tua itu kini pincang,
tak ada roda untuk berjalan. Film dokumenter masa laluku tiba-tiba berputar di
dalam ingatan. Teringat bagaimana Ayah dulu memboncengiku sampai ke depan
gerbang SD setiap pagi . Teringat bagaimana Ayah dulu memboncengiku sampai ke
kota untuk mendaftarkan anaknya ke SMP terbaik, meski ia risau memikirkan
bagaimana membayar uang pangkalnya nanti. Ya, syukurlah akhirnya aku bisa mendapatkan
beasiswa. Aku pun teringat, saat tes
SBMPTN, sepeda itu terparkir di depan gerbang sekolah. Lelaki tua itu berdiri
tepat di sampingnya, sambil memegang tasbih mendoakan anaknya yang sedang
berjuang masuk universitas negeri terbaik. Setelah empat tahun berlalu, tepat
tiga hari sebelum aku wisuda, Ayah tiada. Runtuh duniaku.
Isakku mulai merangsek,
tatkala mesin jahit tua tersapu pandangan. Mesin itu telah berpisah dengan meja
kayunya. Tak sanggup membayangkan, bagaimana dulu kaki yang mulai rapuh itu
berusaha terus mengayuh demi menambah biaya sekolah anaknya. Sesosok wanita pembohong yang selalu bilang
kenyang walaupun sebenarnya ia belum makan. Aku teringat, betapa lembut belaiannya saat mengukur badan untuk membuat kemeja dan jas yang
sedang aku pakai ini. Pembunuh itu keji! Bagaimana mungkin wanita sebaik itu
harus mati dengan naas. Ia pergi selamanya, sebelum melihat baju hasil
jahitannya terekam abadi dalam sebuah foto keluarga.
Kalau tahu begini, mungkin
dari dulu aku melarang mereka untuk mendekati pembunuh itu. Seharusnya aku
berpikir cerdas seperti keluarga Doni. Buktinya, mereka selamat.
Setelah puas memandangi
puing-puing rumah, aku berjalan menuju ke tempat pemakaman kedua orang tuaku
yang letaknya tidak begitu jauh. Kuburan kedua orang tuaku persis bersebelahan.
Sesampainya di sana, aku mengeluarkan ponsel. Ponsel itu kupakai untuk
berswafoto dengan batu nisan mereka, dan selembar ijazah.
“Pak, Bu, anakmu wisuda !
Anakmu cumlaude!”
Kuletakkan bunga-bunga
wisuda pemberian teman-temanku ke atas pusara Ayah.
“Ayah, lihat! Aku pakai
toga sesuai mimpi Ayah. Ayah bilang mau melakukan apapun demi melihat anaknya menjadi
sarjana pertama di keluarga. Sekarang lihat aku Ayah, aku seorang sarjana!”
Kubalikkan badan. Kupeluk
nisan ibu. Aku selempangkan jas wisudaku ke atas nisannya.
“Ibu lihat, hasil jahitan
Ibu terlihat sempurna! Teman-temanku berkata bahwa aku terlihat sangat tampan
dan gagah hari itu. Walaupun mereka tahu, mukaku kusut dan mataku sembab. Ibu
tahu rasanya melihat anak-anak lain berpelukan dan berfoto bersama kedua orang
tuanya, sementara aku mematung seorang diri? Berupaya berdiri kokoh dan
tersenyum palsu di depan rektor. Walaupun sebenarnya jiwaku seolah tak menyatu dengan raga.”
Aku masih tak terima
dengan apa yang dilakukan pembunuh itu. Padahal Ayahku selalu datang tepat
waktu saat dipanggil. Aku masih belum mengerti, apa salah kedua orang tuaku.
“Apakah pembunuh itu
marah karena orang tuaku berisik, suka datang malam-malam mengetuk pintu, merengek
minta uang demi membiayai sekolahku?
Seharusnya yang direnggut nyawanya itu aku, jangan mereka!” Amarahku semakin
membuncah.
Kupeluk nisan Ayah dan Ibu
bergantian. Kurasakan dekapan mereka nyata adanya.
Aku terdiam sejenak,
kemudian refleks melempar benda dari dalam dompet. Benda yang membuat kedua
orang tuaku mengenal dekat sang pembunuh.
“Ilham ! Ilham!’
Awalnya kupikir suara itu
hanya ilusi. Aku terperanjat, ternyata itu Pak Rektor, dosen pembimbing, dan
Pak RT. Aku pun bangkit dan mengusap air mata.
Aku mencium tangan
mereka, kemudian Pak Rektor mengusap rambut dan menepuk bahuku sambil berkata,
“Saya tahu, kamu lelaki penantang badai.”
“Saya tidak sekuat yang Bapak
kira.”
“Kami datang mau takziah,
sekaligus menyampaikan kabar gembira.
Barangkali ini bisa menjadi sedikit obat penawar kepedihanmu. ”
“Maksudnya, Pak?
“Kamu harus bangkit.
Jatah usia kedua orang tuamu sudah habis. Jangan salahkan keadaan dan siapapun.
Hidupmu harus berlanjut. Karena prestasimu semasa kuliah, kamu ditawari kerja
oleh salah satu perusahaan perminyakan asal Amerika. “
“Tetapi, pilihan ada
ditanganmu, kalau
kamu mau melajutkan S2 di Jerman, saya bisa membantumu
bertemu dengan profesor sahabat saya. Kebetulan beliau minggu depan ke
Indonesia.”
Belum sempat membalas, suara
sirine mobil memekik telingaku. Sumpah-serapah warga menghentikan percakapan
kami beberapa saat.
“Ada apa, Pak RT?”
“Itu keluarga Doni,
mereka semua digelandang polisi. Ayahnya ternyata koruptor, dan lebih parahnya
lagi mereka sekeluarga ternyata bandar narkoba. Rumah mereka disita dan mereka terancam dihukum mati.”
“Kurang enak rasanya kalau
kita mengobrol di sini. Ayo kita pergi ke rumahku atau ke rumah bibimu saja. Tadi
kami ke sana, tetapi kamu tidak ada. Bibimu bilang kau pergi memakai pakaian
wisuda. Kami takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, jadi kami cari kamu
ke sini.” Ucap Pak RT.
Kami pun berjalan menuju
rumah Bibi. Sepanjang perjalanan mereka
terus mengeluarkan kata-kata mutiara dan petuah yang klasik.
“Maaf Pak, jasku
ketinggalan. Bapak-bapak duluan saja, nanti saya menyusul.”
Mereka mengangguk. Aku
pun memutar arah, mengambil kembali jas di atas nisan Ibu. Tiba-tiba, benda
dengan butiran bulat berjumlah 99 dan 1 butir berbentuk lonjong berwarna hijau
mengalihkan pandangan. Kuambil, kucium dan kumasukkan kembali ke dalam dompet.
“Maaf, aku mungkin
keterlaluan sampai menyebutmu pembunuh,
Tuhan. Aku tak tahu harus menggambarkan dengan apa rasa kekecewaanku pada-Mu
saat itu. Berbagai pertanyaan bergumul dalam otakku. Bagaimana mungkin Kau
setega itu membakar surgaku dalam hitungan jam? Bagaimana mungkin Kau hancurkan
mimpi dan perjuangan orang tuaku selama bertahun-tahun? Disaat perjungan mereka
hendak mencapai garis akhir, Kau ambil semuanya. Kenapa harus mereka yang Kau
ambil? Kenapa harus aku yang Kau uji? Orang tuaku selalu shalat tepat waktu,
tahajud, dhuha, puasa, tetapi kenapa Kau tega, Tuhan? Sementara mereka yang
jauh dari-Mu hidupnya tidak pernah Kau usik. Aku sempat berpikir, kenapa lautan
api berada dalam surga yang penuh lantunan ayat suci. Sementara, rumah penuh
maksiat seolah dipenuhi sungai yang mengalir. Bukankah itu surga yang tertukar?”
Aku menghela napas
panjang. Memejamkan mata sambil membayangkan Dia mendekapku.
“Maaf, Tuhan. Maafkan aku
yang sudah kurang ajar kepada-Mu. Tabir-Mu mulai terbuka. Sekarang aku sedikit
mengerti skenario-Mu. Bantu aku berdamai dengan-Mu. Aku malu.”
****
Bandung, 12 Oktober 2019
0 komentar:
Posting Komentar