Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 13 Januari 2021

Surga yang Tertukar

Mengulang hari spesialnya, lelaki itu memakai sepatu pantofel, kemeja putih, jas hitam, dasi biru, medali, dan toga. Dia berdiri lusuh sambil membentangkan selembar ijazah tepat searah garis lurus matanya. Percuma ! Puing-puing kepedihan itu tak mampu ditutupi hanya dengan selembar kertas.  Tulisan cumlaude seolah hanya tumpahan tinta yang tak bermakna apa-apa.

“Pria malang!” Teriakku lirih, lalu tertawa getir.

Ya, pria malang itu aku. Seusai tertawa palsu, aku tercenung dengan mata yang menggeriap. Pagi yang cerah ini, terlihat seperti temaram.  Tubuhku ambruk perlahan ke tanah. Kumasukkan ijazah itu ke dalam tote bag bersama bunga warna-warni yang telah layu. Jemariku mengais tanah, dan menyapu setiap puing-puing yang berserakan. Kugenggam erat bongkahan tanah bercampur arang itu, lalu kuletakkan di depan dada.  Rasanya  seperti terhunus pedang yang sangat tajam. Mungkin, dalam secuil tanah ini, ada darah Ayah yang mengering  atau mungkin ada rambut Ibu yang berubah menjadi abu. Barangkali, dalam segenggam tanah ini, ada sisa-sisa seragam batik wisuda keluarga yang telah hangus.

“Pembunuh, tidak ada kata maaf untukmu!” Teriakku lantang sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah langit.

Tubuhku bergidik. Decitan jendela yang dibuka perlahan tiba-tiba mengaburkan lamunanku. Terlihat jelas, seorang wanita berpakaian seksi keluar mengendap-endap dari jendela rumah di samping puing-puing istanaku. Ya, itu  rumah Doni, tetangga sekaligus teman kuliahku yang hidupnya terlihat sempurna.

Baru beberapa langkah, wanita itu berbalik arah, bergegas masuk ketika lelaki mabuk berbadan gemuk  memarkirkan mobil di depan rumah dua lantai itu. “Ayahmu datang,” bisik wanita itu sesaat sebelum ia kembali masuk ke dalam jendela kamar Doni.

Apa yang terlihat dalam pandangan seakan menambah getir amarahku. Pembunuh itu salah sasaran. Seharusnya rumah itu yang dibakar. Yang seharusnya dihabisi nyawanya adalah mereka, bukan orang tuaku yang tak berdosa. Bagaimana bisa, anak buah itu salah alamat.

Saat memutar badan 45 derajat, tiba-tiba mataku semakin memberat. Ada bulir air yang tak mampu lagi dibendung.  Sepeda tua itu kini pincang, tak ada roda untuk berjalan. Film dokumenter masa laluku tiba-tiba berputar di dalam ingatan. Teringat bagaimana Ayah dulu memboncengiku sampai ke depan gerbang SD setiap pagi . Teringat bagaimana Ayah dulu memboncengiku sampai ke kota untuk mendaftarkan anaknya ke SMP terbaik, meski ia risau memikirkan bagaimana membayar uang pangkalnya nanti. Ya, syukurlah akhirnya aku bisa mendapatkan beasiswa. Aku pun teringat, saat  tes SBMPTN, sepeda itu terparkir di depan gerbang sekolah. Lelaki tua itu berdiri tepat di sampingnya, sambil memegang tasbih mendoakan anaknya yang sedang berjuang masuk universitas negeri terbaik. Setelah empat tahun berlalu, tepat tiga hari sebelum aku wisuda, Ayah tiada. Runtuh duniaku.

Isakku mulai merangsek, tatkala mesin jahit tua tersapu pandangan. Mesin itu telah berpisah dengan meja kayunya. Tak sanggup membayangkan, bagaimana dulu kaki yang mulai rapuh itu berusaha terus mengayuh demi menambah biaya sekolah anaknya.  Sesosok wanita pembohong yang selalu bilang kenyang walaupun sebenarnya ia belum makan. Aku teringat,  betapa lembut belaiannya saat mengukur  badan untuk membuat kemeja dan jas yang sedang aku pakai ini. Pembunuh itu keji! Bagaimana mungkin wanita sebaik itu harus mati dengan naas. Ia pergi selamanya, sebelum melihat baju hasil jahitannya terekam abadi dalam sebuah foto keluarga.

Kalau tahu begini, mungkin dari dulu aku melarang mereka untuk mendekati pembunuh itu. Seharusnya aku berpikir cerdas seperti keluarga Doni. Buktinya, mereka selamat.

Setelah puas memandangi puing-puing rumah, aku berjalan menuju ke tempat pemakaman kedua orang tuaku yang letaknya tidak begitu jauh. Kuburan kedua orang tuaku persis bersebelahan. Sesampainya di sana, aku mengeluarkan ponsel. Ponsel itu kupakai untuk berswafoto dengan batu nisan mereka, dan selembar ijazah.

“Pak, Bu, anakmu wisuda ! Anakmu cumlaude!”

Kuletakkan bunga-bunga wisuda pemberian teman-temanku ke atas pusara Ayah.

“Ayah, lihat! Aku pakai toga sesuai mimpi Ayah. Ayah bilang mau melakukan apapun demi melihat anaknya menjadi sarjana pertama di keluarga. Sekarang lihat aku Ayah, aku seorang sarjana!”

Kubalikkan badan. Kupeluk nisan ibu. Aku selempangkan jas wisudaku ke atas nisannya.

“Ibu lihat, hasil jahitan Ibu terlihat sempurna! Teman-temanku berkata bahwa aku terlihat sangat tampan dan gagah hari itu. Walaupun mereka tahu, mukaku kusut dan mataku sembab. Ibu tahu rasanya melihat anak-anak lain berpelukan dan berfoto bersama kedua orang tuanya, sementara aku mematung seorang diri? Berupaya berdiri kokoh dan tersenyum palsu di depan rektor. Walaupun sebenarnya jiwaku  seolah tak menyatu dengan raga.”

Aku masih tak terima dengan apa yang dilakukan pembunuh itu. Padahal Ayahku selalu datang tepat waktu saat dipanggil. Aku masih belum mengerti, apa salah kedua orang tuaku.

“Apakah pembunuh itu marah karena orang tuaku berisik, suka datang malam-malam mengetuk pintu, merengek minta uang demi membiayai sekolahku?  Seharusnya yang  direnggut  nyawanya itu aku, jangan mereka!” Amarahku semakin membuncah.

Kupeluk nisan Ayah dan Ibu bergantian. Kurasakan dekapan mereka nyata adanya.

Aku terdiam sejenak, kemudian refleks melempar benda dari dalam dompet. Benda yang membuat kedua orang tuaku mengenal dekat sang pembunuh.

“Ilham ! Ilham!’

Awalnya kupikir suara itu hanya ilusi. Aku terperanjat, ternyata itu Pak Rektor, dosen pembimbing, dan Pak RT. Aku pun bangkit dan mengusap air mata.

Aku mencium tangan mereka, kemudian Pak Rektor mengusap rambut dan menepuk bahuku sambil berkata, “Saya tahu, kamu lelaki penantang badai.”

“Saya tidak sekuat yang Bapak kira.”

“Kami datang mau takziah, sekaligus  menyampaikan kabar gembira. Barangkali ini bisa menjadi sedikit obat penawar kepedihanmu. ”

“Maksudnya, Pak?

“Kamu harus bangkit. Jatah usia kedua orang tuamu sudah habis. Jangan salahkan keadaan dan siapapun. Hidupmu harus berlanjut. Karena prestasimu semasa kuliah, kamu ditawari kerja oleh salah satu perusahaan perminyakan asal Amerika. “

“Tetapi, pilihan ada ditanganmu, kalau

 kamu mau melajutkan S2 di Jerman, saya bisa membantumu bertemu dengan profesor sahabat saya. Kebetulan beliau minggu depan ke Indonesia.”

Belum sempat membalas, suara sirine mobil memekik telingaku. Sumpah-serapah warga menghentikan percakapan kami beberapa saat.

“Ada apa, Pak RT?”

“Itu keluarga Doni, mereka semua digelandang polisi. Ayahnya ternyata koruptor, dan lebih parahnya lagi mereka sekeluarga ternyata bandar narkoba. Rumah mereka disita dan  mereka terancam dihukum mati.”

“Kurang enak rasanya kalau kita mengobrol di sini. Ayo kita pergi ke rumahku atau ke rumah bibimu saja. Tadi kami ke sana, tetapi kamu tidak ada. Bibimu bilang kau pergi memakai pakaian wisuda. Kami takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, jadi kami cari kamu ke sini.”  Ucap Pak RT.

Kami pun berjalan menuju rumah Bibi. Sepanjang perjalanan  mereka terus mengeluarkan kata-kata mutiara dan petuah yang klasik.

“Maaf Pak, jasku ketinggalan. Bapak-bapak duluan saja, nanti saya menyusul.”

Mereka mengangguk. Aku pun memutar arah, mengambil kembali jas di atas nisan Ibu. Tiba-tiba, benda dengan butiran bulat berjumlah 99 dan 1 butir berbentuk lonjong berwarna hijau mengalihkan pandangan. Kuambil, kucium dan kumasukkan kembali ke dalam dompet.

“Maaf, aku mungkin keterlaluan sampai menyebutmu  pembunuh, Tuhan. Aku tak tahu harus menggambarkan dengan apa rasa kekecewaanku pada-Mu saat itu. Berbagai pertanyaan bergumul dalam otakku. Bagaimana mungkin Kau setega itu membakar surgaku dalam hitungan jam? Bagaimana mungkin Kau hancurkan mimpi dan perjuangan orang tuaku selama bertahun-tahun? Disaat perjungan mereka hendak mencapai garis akhir, Kau ambil semuanya. Kenapa harus mereka yang Kau ambil? Kenapa harus aku yang Kau uji? Orang tuaku selalu shalat tepat waktu, tahajud, dhuha, puasa, tetapi kenapa Kau tega, Tuhan? Sementara mereka yang jauh dari-Mu hidupnya tidak pernah Kau usik. Aku sempat berpikir, kenapa lautan api berada dalam surga yang penuh lantunan ayat suci. Sementara, rumah penuh maksiat seolah dipenuhi sungai yang mengalir. Bukankah itu surga yang tertukar?”

Aku menghela napas panjang. Memejamkan mata sambil membayangkan Dia mendekapku.

“Maaf, Tuhan. Maafkan aku yang sudah kurang ajar kepada-Mu.  Tabir-Mu mulai terbuka. Sekarang aku sedikit mengerti skenario-Mu. Bantu aku berdamai dengan-Mu. Aku malu.”

****

Bandung, 12 Oktober 2019

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

liukan pelangi

Wavy Tail

Blogroll

About