Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 13 Januari 2021

Pelangi di Sudut Mega Mendung

 

Dari jembatan penghubung lantai dua gedung Labtek V dan Labtek VI ITB, Mega mengatur posisi dan sudut pandangan di matanya sampai presisi. Karena hanya dengan sudut yang tepat, pelangi  di atas air mancur  kolam Indonesia Tenggelam (Intel) ITB akan terlihat.

“Anak pawang Sintren pasti bisa kuliah S2 di Perancis!” Begitulah kalimat afirmasi yang terus ia ulang.

“Dooor!” Suara lantang lelaki bertubuh atletis itu membuat tubuh Mega bergidik hebat.

“Bryan!” Mega menaikkan alisnya dan mengernyitkan bibir.

“Bagaimana kabar Sorbonne University?” Bryan bertanya sambil berjalan mundur menuju gedung sebelah.

“Baik. Seperti pelangi di bawah sana. Walaupun samar-samar, tetapi aku bisa melihat kalau itu nyata.”

Pertanyaan Bryan membuat memori masa lalunya kembali terlintas. Mega membuka Youtube lalu memutar video berjudul “Rekaman Penggusuran Pedagang Kaki Lima di Jakarta 2011.”

****

Suara klakson kendaraan bermotor bersahut-sahutan. Laju pengendara terhalang aksi kejar-kejaran pedagang kaki lima dengan Satpol PP.  Ada pedagang mainan yang mencoba memukul polisi dengan barang dagangannya. Ada pedagang yang tarik-menarik sambil meronta ketika barang dagangan diangkut paksa dan gerobaknya dirobohkan. Tak sedikit pula pedagang yang berlari meninggalkan barang dagangannya karena takut.

Dalam rekaman itu terlihat, lelaki berbadan ringkih tercenung sambil menahan bongkahan air di matanya.  Berharap ada petugas yang mengerti bahasa dari bola matanya. Matanya menatap kepasrahan, tetapi hatinya terus menatap harap tentang mimpi anaknya yang sedang ia perjuangkan. Lelaki itu Parjo, ayah Mega.

“Anak saya harus lanjut sekolah, Pak.” Kalimat pertama dan terakhir yang Parjo ucapkan kepada petugas sebelum akhirnya mendung di matanya tumpah. Perlahan ia menjatuhkan badannya ke tanah. Setengah bersujud sambil memukul-mukul jalanan beraspal. Beberapa wartawan pun berkumpul dan mewawancarainya.

*****

Mega berhenti sejenak. Melatakkan smartphone lalu menyeka air mata dengan sudut lengan dari baju batik mega mendungnya. Mega berusaha memaknai filosofi motif batik yang dipakainya. Selalu ada mega di setiap mendung. Kamu harus tegar dalam situasi apapun.

Dia kembali membuka Youtube sembari mengetikkan kata, “Tragedi Meninggalnya Warga Korban Penggusuran di Jakarta 2011.” Ya, warga naas itu adalah wanita yang dulu pernah melahirkannya. Wanita itu meninggal saat mencari Mega yang sedang bermain petak umpet di tengah permukiman yang dibombardir alat berat.

Mega kembali meletakkan ponselnya. Disekanya air yang keluar dari lubang hidungnya. Ia membuka tas, lalu mengambil dan membaca buku harian.

*****

            Dear Diary,

            Ini kisahku saat terakhir tinggal di Jakarta. Kami mengungsi di gedung milik Dinas Sosial. Bisakah Kau bayangkan betapa ambruknya sukmaku kala itu?

“Kita harus kembali ke Cirebon. Tidak ada pilihan lain. ”

Semua termangu.   Dina, kakakku, menghadap ke tembok, tak sanggup menatap mata sayu Bapak. Dia berusaha sibuk menyetrika dan melipat pakaian. Badai di hatinya pun membuat pakaian yang baru mengering itu kembali basah.

Aku tertunduk sembari memasukkan buku-buku gambar ke dalam kardus. Di ruangan  4x4 meter itu, suara petir menyambar seolah tidak terdengar. Gemuruh di hati seolah menyumbat lubang telinga untuk mendengar hiruk pikuk semesta. Jiwaku mati.

****

Setelah membuka halaman pertama, Mega membuka lembaran baru dan kembali membaca tulisannya.

Dear Diary,

Kamu tahu bagaimana rasanya hidup di bibir jurang tetapi tidak ada keberanian untuk terjun bunuh diri ataupun melangkah menyelamatkan diri? Begitulah hidupku saat harus menata puing-puing kehidupan pasca pindah ke Cirebon.

Kami terpaksa tinggal di rumah bambu bekas kandang kambing warisan Pak De. Letaknya di tepi sawah. Kalau hujan, rumah bocor di mana-mana.

Setelah kembali ke Cirebon, Bapak memutuskan untuk kembali menjadi pawang Sintren, sebuah kesenian asal Cirebon. Aku dan Mba Dina sesekali menjadi penari Sintren. Tubuhku diikat menggunakan tali dan dimasukkan ke dalam kurungan yang sempit dengan ditutup kain. Kemudian pawang akan membacakan mantra  sambil diiringi musik dan lagu Kembang Terate, Gulung-Gulung Klasa, Turun Sintren, Simbar Pati, Kilar Blatar dan lainnya. Katanya, lagu dan musik yang mengiringi itu dipercaya dapat mendatangkan roh bidadari. Setelah pawang selesai membacakan mantra, kurungan dibuka dan penari berubah menjadi cantik  dan  menggunakan kacamata hitam. Saat ada yang memberi saweran, penari akan jatuh.

            Kata Bapak, tari Sintren itu penuh filosofi. Katanya, kurungan itu melambangkan dunia, tali itu melambangkan ikatan dengan Yang Maha Kuasa. Penari akan jatuh saat dilempari uang, katanya hal itu menggambarkan  manusia yang kalau sudah diperbudak dunia bisa lupa diri. Filosofi itu seakan kembali menyeretku pada memori itu. Pengusaha jahat itu, yang demi napsu dunianya tega menggusur lapak dan rumah Bapak. Sudah kucatat namanya besar-besar di halaman pertama buku harianku.

***

            Mega menghela napas panjang, lalu menengadah ke arah langit  abu-abu. Sejenak sebelumi ia kembali membuka buku hariannya.

            Dear Diary,

            Rasanya aku ingin berhenti sekolah. Buat apa sekolah kalau hanya menjadi bahan permainan teman satu SMP? Mereka meledekku si buta dari gua hantu karena suka memakai kacamata hitam saat menjadi penari Sintren. Seringkali aku dipukul dengan penggaris, dan didorong ke selokan. Tetapi yang paling menyakitkan, mereka tega menghina Bapak. Katanya, bapakku dukun, penyihir jahat, dan bau kemenyan.

            Kisah menyakitkan itu membulatkan tekadku untuk belajar keras agar bisa masuk SMA favorit di kota. Hmmm, sebenarnya alasan utamanya karena aku enggan satu sekolah lagi dengan mereka. Aku ingin membuktikan kalau aku bisa lebih sukses. Biasanya, tidak ada siswa dari SMP-ku yang masuk SMA favorit di kota.

            Sayangnya, Bapak tidak setuju. Katanya, tak ada biaya. Bahkan Bapak menyarankan aku untuk berhenti sekolah. Aku disuruh belajar membatik dengan Mba Dina agar bisa bekerja sebagai buruh batik di desa sebelah, desa Trusmi.

            Tetapi tekadku sudah bulat. Diam-diam aku mendaftar SMA terfavorit di kota seorang diri. Hasilnya, aku lulus peringkat ketiga dari bawah. Dengan pelan-pelan aku jelaskan pada Bapak tentang semua itu. Beliau menolak keras. Katanya, “Biaya dari mana? Mimpi itu jangan tinggi-tinggi, nanti gila.”

            Aku pasrah. Di hari terakhir pendaftaran ulang, aku duduk di pekarangan rumah sambil disuguhi kompor dan wajan kecil. Dengan perlahan kutiup canting yang berisi malam1 itu, kemudian digoreskan pada selembar kain putih bergambar  mega mendung. Sedang

 


asyik-asyiknya, tiba-tiba Bapak datang dan menyuruhku berganti pakaian. Katanya, sekarang kita akan berangkat ke kota untuk mendaftar ulang. Aku terperanjat, sampai malam panas  itu tumpah dan menetes pada kaki. Secuil kulitku melepuh.

            Dari rumah menuju angkot kami naik sepeda berboncengan. Setelah turun di pusat kota kemudian kami berjalan kaki menuju sekolah. Awalnya Bapak tidak mau bercerita, tetapi setelah kupaksa akhirnya aku tahu kalau beliau habis meminjam uang kesana-kemari untukku.

            Seusai daftar ulang, ternyata uang hanya cukup untuk ongkos angkot satu orang. Bapak bilang, “Wis ajo watir, siro balik bae! Jagate arep udan. Bapak arep nggulati tumpangan bae.”2 Ya, akhirnya aku naik angkot sendirian sementara Bapak naik  mobil pengangkut sayur yang baik hati.

            Sejak saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi orang sukses. Di SMA, aku masih menjadi mega yang wajahnya selalu mendung. Aku suka menyendiri. Minder rasanya untuk bergabung dengan teman-teman dari kota. Hal ini menjadi jalan buatku untuk mengenal  banyak buku-buku keren di perpustakaan. Dari situ, aku mulai bertekad untuk bisa ke luar negeri.

***

            Langit abu-abu mulai runtuh. Mega menepikan diri ke tangga gedung yang jauh dari percikan hujan. Ia duduk bersender di tepi tangga lalu kembali membuka buku hariannya. Matanya menggeriap.

            Dear diary,

            Rasanya aku senang sekali, dari kelas dua hingga lulus  bisa mendapatkan beasiswa penuh di SMA. Awalnya, aku mau melanjutkan kuliah di kota ini saja, tetapi guruku menyayangkan impianku yang terlalu sempit. Katanya, aku harus mencoba bermimpi lebih tinggi. Akhirnya setelah membaca banyak informasi, aku memutuskan untuk mendaftar di FSRD ITB. Alasannya sederhana. Aku ingin masuk seni kriya dan ingin membangun industri tekstil serta brand fashion yang lebih maju dari perusahaan yang menggusur rumahku di Jakarta itu.

***

“Door!” lagi-lagi Bryan menghancurkan lamunan Mega.

“Coba cek email. Kata Gita, hasil beasiswanya sudah keluar.”lanjut Bryan


            Mega membuka email dengan jantung berdetak seperti naik roller coaster. Mega menutup mata saat aplikasi masih loading. Pelan-pelan dibuka kembali mata itu setahap demi setahap. Tiba-tiba ia  melompat dan refleks memeluk Bryan. Tidak disangka, berbagai lomba dan  publikasi ilmiahnya tentang batik akhirnya akan mengantarkan dirinya ke Perancis.

            “Hmmmm, lusa aku harus pergi ke Kedutaan Besar Perancis di Jakarta. Bingung euy,  uang menipis.”

            Dengan sigap Bryan mengeluarkan dompet dan menyodorkan sejumlah uang kepada Mega. Mega menggeleng sambil berkata,” Aku nggak mau nyusahin kamu terus.  Biaya tes IELTS kemarin saja belum sanggup aku bayar.

            “Aku sudah bilang, kamu tidak perlu memikirkan hal itu. Anggap saja itu ucapan terima kasih dariku karena kamu sudah mau menjadi sahabat. Bahkan lebih dari sahabat.”

            Mega tersenyum dengan lengkungan yang sempurna. Dia diam tetapi matanya berbicara.

            Seperti biasa, Mega pun membuka instagram hendak memberitahu dunia tentang keberhasilannya. Seketika pandangannya teralihkan pada postingan teratas di berandanya. Terlihat akun @lambedower mengunggah informasi tentang pengusaha pemilik brand fashion terkenal telah menabrak mati bapak tua di desa Trusmi Cirebon. Nama itu tidak asing. Trusmi, kata itu membuat mata Mega terbelalak. Kemudian, ia membaca dengan seksama caption di postingan itu. Semakin terbelalak matanya saat dia membaca bahwa korban itu bernama Parjo asal desa Gamel berusia 51 tahun, berprofesi sebagai pawang Sintren.

            Tiba-tiba Gadget mega bergetar, ada chat masuk dari kakaknya, “Nok, balik yo ning Cerbon. Bapake selamet. Ketabrak mobil.”3 Seketika Mega membanting gadgetnya. Tubuhnya lemas, napasnya tersengal. Bryan memasang muka kebingungan.

            “Bapakku meninggal. Dia pergi sebelum tahu kabar bahagia bahwa anaknya lulus beasiswa S2 ke Perancis.”

            Bryan yang sedang merapihkan dompet tiba-tiba menjatuhkannya ke lantai. Beberapa kartunya berserakan. Sebuah kartu berwarna biru  jatuh tepat diatas halaman pertama buku harian mega. Kartu nama bertuliskan  Denovo Subakat, CEO PT Franso Fashiono Tekstil.

            Dengan suara parau, Mega menyodorkan kartu itu pada Bryan, “Siapa dia?’

            “Papa saya.”

            Halilintar kembali menyambar jiwa Mega. Seseorang yang selalu dia anggap malaikat penolong itu ternyata anak dari orang yang merengkut nyawa kedua orang tuanya.

            Mega melemparkan sepuluh lembar uang berwarna merah ke muka Bryan sambil berteriak, “Pembunuh!”

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

liukan pelangi

Wavy Tail

Blogroll

About