Dari jembatan penghubung lantai dua
gedung Labtek V dan Labtek VI ITB, Mega mengatur posisi dan sudut pandangan di
matanya sampai presisi. Karena hanya dengan sudut yang tepat, pelangi di atas air mancur kolam Indonesia Tenggelam (Intel) ITB akan
terlihat.
“Anak pawang Sintren pasti bisa
kuliah S2 di Perancis!” Begitulah kalimat afirmasi yang terus ia ulang.
“Dooor!” Suara lantang lelaki
bertubuh atletis itu membuat tubuh Mega bergidik hebat.
“Bryan!” Mega menaikkan alisnya dan
mengernyitkan bibir.
“Bagaimana kabar Sorbonne University?” Bryan bertanya sambil berjalan mundur menuju
gedung sebelah.
“Baik. Seperti pelangi di bawah sana.
Walaupun samar-samar, tetapi aku bisa melihat kalau itu nyata.”
Pertanyaan Bryan membuat memori masa lalunya
kembali terlintas. Mega membuka Youtube
lalu memutar video berjudul “Rekaman Penggusuran Pedagang Kaki Lima di Jakarta
2011.”
****
Suara klakson kendaraan bermotor bersahut-sahutan.
Laju pengendara terhalang aksi kejar-kejaran pedagang kaki lima dengan Satpol
PP. Ada pedagang mainan yang mencoba
memukul polisi dengan barang dagangannya. Ada pedagang yang tarik-menarik
sambil meronta ketika barang dagangan diangkut paksa dan gerobaknya dirobohkan.
Tak sedikit pula pedagang yang berlari meninggalkan barang dagangannya karena
takut.
Dalam rekaman itu terlihat, lelaki
berbadan ringkih tercenung sambil menahan bongkahan air di matanya. Berharap ada petugas yang mengerti bahasa
dari bola matanya. Matanya menatap kepasrahan, tetapi hatinya terus menatap
harap tentang mimpi anaknya yang sedang ia perjuangkan. Lelaki itu Parjo, ayah
Mega.
“Anak saya harus lanjut sekolah, Pak.” Kalimat pertama dan terakhir yang Parjo ucapkan kepada petugas sebelum akhirnya mendung di matanya tumpah. Perlahan ia menjatuhkan badannya ke tanah. Setengah bersujud sambil memukul-mukul jalanan beraspal. Beberapa wartawan pun berkumpul dan mewawancarainya.
*****
Mega berhenti sejenak. Melatakkan smartphone lalu menyeka air mata dengan
sudut lengan dari baju batik mega mendungnya. Mega berusaha memaknai filosofi
motif batik yang dipakainya. Selalu ada
mega di setiap mendung. Kamu harus tegar dalam situasi apapun.
Dia kembali membuka Youtube sembari mengetikkan kata,
“Tragedi Meninggalnya Warga Korban Penggusuran di Jakarta 2011.” Ya, warga naas
itu adalah wanita yang dulu pernah melahirkannya. Wanita itu meninggal saat
mencari Mega yang sedang bermain petak umpet di tengah permukiman yang dibombardir
alat berat.
Mega kembali meletakkan ponselnya. Disekanya
air yang keluar dari lubang hidungnya. Ia membuka tas, lalu mengambil dan
membaca buku harian.
*****
Dear Diary,
Ini kisahku saat terakhir tinggal di
Jakarta. Kami mengungsi di gedung milik Dinas Sosial. Bisakah Kau bayangkan
betapa ambruknya sukmaku kala itu?
“Kita harus kembali ke Cirebon. Tidak ada pilihan lain. ”
Semua termangu. Dina,
kakakku, menghadap ke tembok, tak sanggup menatap mata sayu Bapak. Dia berusaha
sibuk menyetrika dan melipat pakaian. Badai di hatinya pun membuat pakaian yang
baru mengering itu kembali basah.
Aku tertunduk sembari memasukkan buku-buku gambar ke dalam kardus.
Di ruangan 4x4 meter itu, suara petir
menyambar seolah tidak terdengar. Gemuruh di hati seolah menyumbat lubang telinga
untuk mendengar hiruk pikuk semesta. Jiwaku mati.
****
Setelah membuka halaman pertama, Mega
membuka lembaran baru dan kembali membaca tulisannya.
Dear Diary,
Kamu tahu bagaimana rasanya hidup di bibir jurang tetapi tidak ada
keberanian untuk terjun bunuh diri ataupun melangkah menyelamatkan diri?
Begitulah hidupku saat harus menata puing-puing kehidupan pasca pindah ke
Cirebon.
Kami terpaksa tinggal di rumah bambu bekas kandang kambing warisan
Pak De. Letaknya di tepi sawah. Kalau hujan, rumah bocor di mana-mana.
Setelah kembali ke Cirebon, Bapak memutuskan untuk kembali menjadi
pawang Sintren, sebuah kesenian asal Cirebon. Aku dan Mba Dina sesekali menjadi
penari Sintren. Tubuhku diikat menggunakan tali dan dimasukkan ke dalam
kurungan yang sempit dengan ditutup kain. Kemudian pawang akan membacakan
mantra sambil diiringi musik dan lagu
Kembang Terate, Gulung-Gulung Klasa, Turun Sintren, Simbar Pati, Kilar Blatar
dan lainnya. Katanya, lagu dan musik yang mengiringi itu dipercaya dapat
mendatangkan roh bidadari. Setelah pawang selesai membacakan mantra, kurungan
dibuka dan penari berubah menjadi cantik
dan menggunakan kacamata hitam. Saat
ada yang memberi saweran, penari akan
jatuh.
Kata Bapak, tari Sintren itu penuh
filosofi. Katanya, kurungan itu melambangkan dunia, tali itu melambangkan
ikatan dengan Yang Maha Kuasa. Penari akan jatuh saat dilempari uang, katanya hal
itu menggambarkan manusia yang kalau
sudah diperbudak dunia bisa lupa diri. Filosofi itu seakan kembali menyeretku
pada memori itu. Pengusaha jahat itu, yang demi napsu dunianya tega menggusur lapak
dan rumah Bapak. Sudah kucatat namanya besar-besar di halaman pertama buku
harianku.
***
Mega
menghela napas panjang, lalu menengadah ke arah langit abu-abu. Sejenak sebelumi ia kembali membuka
buku hariannya.
Dear Diary,
Rasanya aku ingin berhenti sekolah.
Buat apa sekolah kalau hanya menjadi bahan permainan teman satu SMP? Mereka
meledekku si buta dari gua hantu
karena suka memakai kacamata hitam saat menjadi penari Sintren. Seringkali aku
dipukul dengan penggaris, dan didorong ke selokan. Tetapi yang paling
menyakitkan, mereka tega menghina Bapak. Katanya, bapakku dukun, penyihir
jahat, dan bau kemenyan.
Kisah menyakitkan itu membulatkan
tekadku untuk belajar keras agar bisa masuk SMA favorit di kota. Hmmm,
sebenarnya alasan utamanya karena aku enggan satu sekolah lagi dengan mereka.
Aku ingin membuktikan kalau aku bisa lebih sukses. Biasanya, tidak ada siswa
dari SMP-ku yang masuk SMA favorit di kota.
Sayangnya, Bapak tidak setuju.
Katanya, tak ada biaya. Bahkan Bapak menyarankan aku untuk berhenti sekolah. Aku
disuruh belajar membatik dengan Mba Dina agar bisa bekerja sebagai buruh batik
di desa sebelah, desa Trusmi.
Tetapi tekadku sudah bulat.
Diam-diam aku mendaftar SMA terfavorit di kota seorang diri. Hasilnya, aku
lulus peringkat ketiga dari bawah. Dengan pelan-pelan aku jelaskan pada Bapak
tentang semua itu. Beliau menolak keras. Katanya, “Biaya dari mana? Mimpi itu
jangan tinggi-tinggi, nanti gila.”
Aku pasrah. Di hari terakhir
pendaftaran ulang, aku duduk di pekarangan rumah sambil disuguhi kompor dan
wajan kecil. Dengan perlahan kutiup canting yang berisi malam1 itu, kemudian digoreskan pada selembar kain putih
bergambar mega mendung. Sedang
asyik-asyiknya, tiba-tiba
Bapak datang dan menyuruhku berganti pakaian. Katanya, sekarang kita akan berangkat
ke kota untuk mendaftar ulang. Aku terperanjat, sampai malam panas itu tumpah dan
menetes pada kaki. Secuil kulitku melepuh.
Dari rumah menuju angkot kami naik
sepeda berboncengan. Setelah turun di pusat kota kemudian kami berjalan kaki
menuju sekolah. Awalnya Bapak tidak mau bercerita, tetapi setelah kupaksa
akhirnya aku tahu kalau beliau habis meminjam uang kesana-kemari untukku.
Seusai daftar ulang, ternyata uang
hanya cukup untuk ongkos angkot satu orang. Bapak bilang, “Wis ajo watir, siro balik bae! Jagate arep udan. Bapak arep nggulati
tumpangan bae.”2 Ya, akhirnya aku naik angkot sendirian
sementara Bapak naik mobil pengangkut
sayur yang baik hati.
Sejak saat itu, aku berjanji pada
diriku sendiri untuk menjadi orang sukses. Di SMA, aku masih menjadi mega yang
wajahnya selalu mendung. Aku suka menyendiri. Minder rasanya untuk bergabung
dengan teman-teman dari kota. Hal ini menjadi jalan buatku untuk mengenal banyak buku-buku keren di perpustakaan. Dari
situ, aku mulai bertekad untuk bisa ke luar negeri.
***
Langit
abu-abu mulai runtuh. Mega menepikan diri ke tangga gedung yang jauh dari
percikan hujan. Ia duduk bersender di tepi tangga lalu kembali membuka buku
hariannya. Matanya menggeriap.
Dear diary,
Rasanya aku senang sekali, dari
kelas dua hingga lulus bisa mendapatkan
beasiswa penuh di SMA. Awalnya, aku mau melanjutkan kuliah di kota ini saja,
tetapi guruku menyayangkan impianku yang terlalu sempit. Katanya, aku harus
mencoba bermimpi lebih tinggi. Akhirnya setelah membaca banyak informasi, aku
memutuskan untuk mendaftar di FSRD ITB. Alasannya sederhana. Aku ingin masuk
seni kriya dan ingin membangun industri tekstil serta brand fashion yang lebih maju dari perusahaan yang menggusur
rumahku di Jakarta itu.
***
“Door!” lagi-lagi Bryan menghancurkan
lamunan Mega.
“Coba cek email. Kata Gita, hasil beasiswanya sudah keluar.”lanjut Bryan
Mega membuka email dengan jantung berdetak seperti naik roller coaster. Mega menutup mata saat aplikasi masih loading. Pelan-pelan dibuka kembali mata
itu setahap demi setahap. Tiba-tiba ia melompat dan refleks memeluk Bryan. Tidak
disangka, berbagai lomba dan publikasi
ilmiahnya tentang batik akhirnya akan mengantarkan dirinya ke Perancis.
“Hmmmm,
lusa aku harus pergi ke Kedutaan Besar Perancis di Jakarta. Bingung euy, uang menipis.”
Dengan
sigap Bryan mengeluarkan dompet dan menyodorkan sejumlah uang kepada Mega. Mega
menggeleng sambil berkata,” Aku nggak mau nyusahin kamu terus. Biaya tes IELTS kemarin saja belum sanggup
aku bayar.
“Aku
sudah bilang, kamu tidak perlu memikirkan hal itu. Anggap saja itu ucapan
terima kasih dariku karena kamu sudah mau menjadi sahabat. Bahkan lebih dari
sahabat.”
Mega
tersenyum dengan lengkungan yang sempurna. Dia diam tetapi matanya berbicara.
Seperti
biasa, Mega pun membuka instagram hendak
memberitahu dunia tentang keberhasilannya. Seketika pandangannya teralihkan
pada postingan teratas di berandanya. Terlihat akun @lambedower mengunggah informasi tentang pengusaha pemilik brand fashion terkenal telah menabrak
mati bapak tua di desa Trusmi Cirebon.
Nama itu tidak asing. Trusmi, kata
itu membuat mata Mega terbelalak. Kemudian, ia membaca dengan seksama caption di postingan itu. Semakin
terbelalak matanya saat dia membaca bahwa korban itu bernama Parjo asal desa
Gamel berusia 51 tahun, berprofesi sebagai pawang Sintren.
Tiba-tiba
Gadget mega bergetar, ada chat masuk dari kakaknya, “Nok, balik yo ning Cerbon. Bapake selamet.
Ketabrak mobil.”3 Seketika Mega membanting gadgetnya. Tubuhnya lemas, napasnya tersengal. Bryan memasang muka
kebingungan.
“Bapakku
meninggal. Dia pergi sebelum tahu kabar bahagia bahwa anaknya lulus beasiswa S2
ke Perancis.”
Bryan
yang sedang merapihkan dompet tiba-tiba menjatuhkannya ke lantai. Beberapa
kartunya berserakan. Sebuah kartu berwarna biru jatuh tepat diatas halaman pertama buku harian
mega. Kartu nama bertuliskan Denovo
Subakat, CEO PT Franso Fashiono Tekstil.
Dengan
suara parau, Mega menyodorkan kartu itu pada Bryan, “Siapa dia?’
“Papa
saya.”
Halilintar
kembali menyambar jiwa Mega. Seseorang yang selalu dia anggap malaikat penolong
itu ternyata anak dari orang yang merengkut nyawa kedua orang tuanya.
Mega
melemparkan sepuluh lembar uang berwarna merah ke muka Bryan sambil berteriak,
“Pembunuh!”
0 komentar:
Posting Komentar