Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 13 Januari 2021

Kaki Bersayap Malaikat

 

Ketika musim memandang rindu pada hujan, ada rintik yang jatuh di kelopak mataku. Saat kupandang, langit bukan hanya lembaran kosong. Ada setumpuk rindu pada wajahmu. Senyummu hadir dalam sebongkah awan yang kukenang.

Kukecup batu nisan itu. Maaf, lagi-lagi nisanmu basah. Beberapa puzzle masa lalu tiba-tiba membombardir isi kepalaku.

*****

“Suatu hari nanti, namamu akan terukir dalam sejarah.”

Kubalikkan badan. Terlihat wajah dengan bercucuran keringat itu berjalan menuntun sepeda tuanya. Aku kembali berlatih memukul shuttlecock−dengan raket yang senarnya putus diberbagai tempat−ke tembok. Sesekali menoleh ke belakang, menyaksikan punggungnya yang semakin lusuh dan terbungkuk.

Kukepal tangan,  jari telunjuk dan wajah menengadah ke langit. Pada detik ini, aku bersumpah pada Tuhan. Kalau sampai impianku tidak terkabul, aku akan terus bermimpi dari awal lagi dengan mimpi yang sama.

“Suatu hari, senyummu akan mengembang karena keringatku, Ayah.”  Janjiku dalam hati.

Alas sepatuku mulai aus, tetapi langkahku takkan pernah tergerus oleh keadaan.

“Nak, lihat ini. Ayah menemukan poster ini di tiang listrik. Beruntung, lemnya tidak terlalu merekat.” Ayah menyodorkan selembar poster berukuran A5 kepadaku.

Aku tertunduk. Membayangkan bagaimana hebatnya pesaingku dengan raket mahal dan sepatu bermerk.

“Ayah tahu, ini poster yang sama dengan poster tahun lalu yang kau remas dan bakar di halaman belakang. Ayah tahu, kamu selalu memandanginya setiap saat, saat ayah sedang terbaring sakit dan tidak punya uang. Maafkan ayah, Nak! Karena keterbatasan ayah, mimpimu tertunda.”

Dia menyeka air yang mulai menetes di sudut mataku. Bibirnya tersenyum, tetapi getir di matanya tak pernah bisa berbohong.

*****

Kusapu pandangan pada langit-langit kamar, sesekali berubah haluan pada dinding-dinding di empat sisi.

“Tuhan, masihkah Kau ada di mana-mana? Adakah Kau di sini juga, Tuhan?”

Tiba-tiba, bunyi ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Kuseka air mata, lalu berjalan mengambil kunci dengan gantungan bertuliskan “Kun fayakuun”.

“Istirahat yang cukup. Besok kita ke kota, beli raket dan sepatu. Lusa kita langsung terbang ke Jawa.”

“Ke Jawa?”

“Iya. Kau harus ikut seleksi beasiswa klub bulutangkis itu. Ayah akan merasa gagal menjadi seorang bapak, jika masih punya napas tetapi gagal membantu anaknya mewujudkan mimpi.”

“Dari mana uangnya, Ayah? Kita nggak punya tabungan, ditambah jualan gulali Ayah lagi sepi, bukan? ”

“Dari Tuhan.”

Beberapa menit, aku bisa menahan tekanan air di bola mata itu, tetapi akhirnya menyerah juga. Kulihat lengkungan senyum seorang lelaki berambut putih dengan bola mata yang mulai pudar itu sedikit dipaksakan.

“Bermimpilah setinggi langit, kalau kau terjatuh, ada punggung ayah yang siap menopangnya.”

*****

Kusandarkan kepala pada kaca bus. Air mataku  menetes sepanjang perjalanan. Aku selalu melihat ke arah jendela. Tak sanggup rasanya melihat ayah bersedih karena melihat anaknya menangis. Tetapi saat kulirik, terlihat bola matanya berkaca-kaca siap meluapkan badai. Ayah tak bisa menangis, kecuali melihat aku menangis.

“Maaf, aku ingkar janji pada diriku sendiri, Ayah. Sampai detik ini, aku masih seorang anak yang selalu menjadi alasan kau menangis.” Jeritku dalam hati.

 Sesampainya di terminal, aku melihat papan reklame dari produk rokok bertuliskan “Jatuh? Bangkit lagi!” Ingin rasanya langsung lompat, naik ke atas papan reklame itu. Menyiramkan minyak tanah lalu menyalakan korek api. Hey, kau kira semudah itukah bangkit dari kegagalan?

*****

Saat pagi buta, saat senja dan saat malam tengah bertahta, Ayah tak henti-hentinya mengajakku berlatih bulutangkis. Saat aku layangkan service, smash, dropshoot ke arahnya, beliau berusaha menangkis dengan sekuat tenaga.

Setelah sama-sama merasa tulang dan sendi terasa perih, kami duduk saling bersandar. Di tengah perbincangan tentang cuaca, Ayah tiba-tiba berkata, “Nak, maafkan ayah. Ayah tidak berguna.”

“Maaf buat apa?”

“Ayah pesaingmu mampu membayar mahal pelatih untuk mengasah bakat anaknya. Sedangkan kamu, hanya belajar ala kadarnya  dari ayah.”

“Tidak, Ayah! Ini salahku. Aku memang tidak berbakat tetapi terus memaksamu untuk mempercayai mimpiku.”

“Ayah tidak percaya bakat. Ayah percaya, bakat hanyalah hadiah untuk  mereka yang berjuang.”

Entah mengapa sulit sekali untuk membendung air mata. Setiap kata dari mulut ayah rasanya seperti bawang merah.

“Besok kita daftar sekolah bulutangkis. Biar kamu berlatih teknik dengan benar.”

“Darimana uangnya?”

“Dari malaikat. Sudahlah, berhenti bertanya tentang uang!”

*****

Kukayuh sepedaku di tepi aspal yang panas. Seminggu tiga kali, aku pergi ke Diklat Bulutangkis Merah Putih untuk berlatih dengan pelatih profesional. Baru tiga bulan, tetapi sendi-sendi tubuhku rasanya mau lepas. Pandanganku terlihat berkunang-kunang. Dengan sekuat tenaga yang tersisa, aku berusaha tetap mengayuh. Terdengar bunyi klakson, decitan ban, dan raungan mesin. Suaranya terdengar semakin mendekat. Tiba-tiba badanku terasa dihantam benda besar. Tubuhku melayang beberapa saat di udara, terlempar beberapa meter.

Aku lupa apa yang terjadi. Tanda tanya itu terus bergelayut saat peratama kali terbangun. Yang aku lihat pertama kali adalah mata ayah yang sembab. Katanya, aku koma tiga hari.

“Kaki Siti harus diamputasi.”

Aku teriak, menutup telinga dengan tangan rapat-rapat. Tak mau mendengar kalimat yang lebih parah setelah kalimat menyakitkan itu.

“Nggak, Dok! Aku atlet!”

“Kamu tetap bisa hebat dengan menjadi apapun, tanpa harus menjadi atlet.” Bisik ayah lirih. Ayah memelukku erat. Pelukan yang akhirnya meluluhkan hatiku untuk menuruti perintah dokter itu.

*****

Badannya yang kian ringkih beberapa kali terlihat memegangi dan mengelus pinggang. Tiba-tiba ayah terjatuh saat baru selesai meneduhkan sepeda gerobak gulalinya. Beberapa adonan dan wajan yang masih panas pun menimpa badannya. Dengan refleks aku berteriak. Berjalan tertatih dengan kursi rodaku.

Dengan bantuan ketua RT, akhirnya ayah langsung dibawa ke rumah sakit. Beberapa saat setelah melakukan pemeriksaan, dokter tiba-tiba membunuhku dengan kalimatnya.

“Ayahmu sakit gagal ginjal. Sulit rasanya harus berjuang  dengan kondisi ginjal yang tinggal satu.”

“Tinggal satu? Dokter jangan melamun!”

Suara batuk-batuk Ayah tiba-tiba menunda jawaban dokter yang sudah di ujung lidah.

“Ayah? Kenapa Ayah nggak pernah cerita kalau ginjal Ayah tinggal satu?”

“Walaupun dengan cara berbeda, bukan sebagai atlet normal, Ayah sangat bangga dan nggak menyesal sudah menjual ginjal Ayah.”

“Dijual? Buat apa?”

“Buat jadi sayap untuk mimpi-mimpimu. Katanya mimpi itu gratis, tetapi ternyata tidak.”

Seperti petir yang menyambar, rasanya kalimat itu tidak hanya melumpuhkan kakiku, tetapi seluruh tubuh. Ruangan ini terlihat semakin mengecil. Ventilasi udara seperti tiba-tiba merapat, dan celah untuk sinar seakan lenyap.

*****

Asian Para Games Jakarta-Palembang. Seperti mimpi, aku berjuang di event besar di tanah air sendiri.

Akhirnya janjiku tertunai, Indonesia Raya Berkumandang karena keringatku dan keringatmu, Ayah. Sekarang aku mengerti atas semua takdir menyakitkan itu. Mungkin aku takkan mendapatkan ini kalau kakiku tak diamputasi.

Setelah menerima medali, aku langsung memeluk udara. Udara itu adalah kau, Ayah. Ragamu tak ada, tetapi napas perjuanganmu akan tetap hidup

*****

“Sudahlah, jangan menangis! Ayah sudah bahagia.” Deni, sepupuku, tiba-tiba menghancurkan bioskop masa lalu yang tengah berputar di kepalaku.

Tak ada bunga yang ditaburkan. Hanya ada medali  emas WH2 Para-badminton yang kucoba kalungkan dalam pusaramu. Terima kasih, kau telah menjadi sayap untuk kakiku yang patah.

 

 

Bandung, 24 Juli 2019

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

liukan pelangi

Wavy Tail

Blogroll

About