Ketika
musim memandang rindu pada hujan, ada rintik yang jatuh di kelopak mataku. Saat
kupandang, langit bukan hanya lembaran kosong. Ada setumpuk rindu pada wajahmu.
Senyummu hadir dalam sebongkah awan yang kukenang.
Kukecup
batu nisan itu. Maaf, lagi-lagi nisanmu basah. Beberapa puzzle masa lalu tiba-tiba membombardir isi kepalaku.
*****
“Suatu
hari nanti, namamu akan terukir dalam sejarah.”
Kubalikkan
badan. Terlihat wajah dengan bercucuran keringat itu berjalan menuntun sepeda tuanya.
Aku kembali berlatih memukul shuttlecock−dengan
raket yang senarnya putus diberbagai tempat−ke tembok. Sesekali menoleh ke
belakang, menyaksikan punggungnya yang semakin lusuh dan terbungkuk.
Kukepal
tangan, jari telunjuk dan wajah
menengadah ke langit. Pada detik ini, aku bersumpah pada Tuhan. Kalau sampai
impianku tidak terkabul, aku akan terus bermimpi dari awal lagi dengan mimpi
yang sama.
“Suatu
hari, senyummu akan mengembang karena keringatku, Ayah.” Janjiku dalam hati.
Alas
sepatuku mulai aus, tetapi langkahku takkan pernah tergerus oleh keadaan.
“Nak,
lihat ini. Ayah menemukan poster ini di tiang listrik. Beruntung, lemnya tidak
terlalu merekat.” Ayah menyodorkan selembar poster berukuran A5 kepadaku.
Aku
tertunduk. Membayangkan bagaimana hebatnya pesaingku dengan raket mahal dan
sepatu bermerk.
“Ayah
tahu, ini poster yang sama dengan poster tahun lalu yang kau remas dan bakar di
halaman belakang. Ayah tahu, kamu selalu memandanginya setiap saat, saat ayah sedang
terbaring sakit dan tidak punya uang. Maafkan ayah, Nak! Karena keterbatasan ayah,
mimpimu tertunda.”
Dia menyeka air yang mulai menetes di sudut mataku. Bibirnya tersenyum, tetapi getir di matanya tak pernah bisa berbohong.
*****
Kusapu
pandangan pada langit-langit kamar, sesekali berubah haluan pada
dinding-dinding di empat sisi.
“Tuhan,
masihkah Kau ada di mana-mana? Adakah Kau di sini juga, Tuhan?”
Tiba-tiba,
bunyi ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Kuseka air mata, lalu berjalan mengambil
kunci dengan gantungan bertuliskan “Kun
fayakuun”.
“Istirahat
yang cukup. Besok kita ke kota, beli raket dan sepatu. Lusa kita langsung terbang
ke Jawa.”
“Ke
Jawa?”
“Iya.
Kau harus ikut seleksi beasiswa klub bulutangkis itu. Ayah akan merasa gagal
menjadi seorang bapak, jika masih punya napas tetapi gagal membantu anaknya
mewujudkan mimpi.”
“Dari
mana uangnya, Ayah? Kita nggak punya tabungan, ditambah jualan gulali Ayah lagi
sepi, bukan? ”
“Dari
Tuhan.”
Beberapa menit, aku bisa menahan tekanan air di bola
mata itu, tetapi akhirnya menyerah juga. Kulihat lengkungan senyum seorang
lelaki berambut putih dengan bola mata yang mulai pudar itu sedikit dipaksakan.
“Bermimpilah
setinggi langit, kalau kau terjatuh, ada punggung ayah yang siap menopangnya.”
*****
Kusandarkan kepala pada kaca bus. Air mataku menetes sepanjang perjalanan. Aku selalu
melihat ke arah jendela. Tak sanggup rasanya melihat ayah bersedih karena melihat
anaknya menangis. Tetapi saat kulirik, terlihat bola matanya berkaca-kaca siap
meluapkan badai. Ayah tak bisa menangis, kecuali melihat aku menangis.
“Maaf,
aku ingkar janji pada diriku sendiri, Ayah. Sampai detik ini, aku masih seorang
anak yang selalu menjadi alasan kau menangis.” Jeritku dalam hati.
Sesampainya di terminal, aku melihat papan
reklame dari produk rokok bertuliskan “Jatuh? Bangkit lagi!” Ingin rasanya
langsung lompat, naik ke atas papan reklame itu. Menyiramkan minyak tanah lalu
menyalakan korek api. Hey, kau kira semudah itukah bangkit dari kegagalan?
*****
Saat
pagi buta, saat senja dan saat malam tengah bertahta, Ayah tak henti-hentinya
mengajakku berlatih bulutangkis. Saat aku layangkan service, smash, dropshoot ke arahnya, beliau berusaha menangkis
dengan sekuat tenaga.
Setelah
sama-sama merasa tulang dan sendi terasa perih, kami duduk saling bersandar. Di
tengah perbincangan tentang cuaca, Ayah tiba-tiba berkata, “Nak, maafkan ayah.
Ayah tidak berguna.”
“Maaf
buat apa?”
“Ayah
pesaingmu mampu membayar mahal pelatih untuk mengasah bakat anaknya. Sedangkan
kamu, hanya belajar ala kadarnya dari ayah.”
“Tidak,
Ayah! Ini salahku. Aku memang tidak berbakat tetapi terus memaksamu untuk
mempercayai mimpiku.”
“Ayah
tidak percaya bakat. Ayah percaya, bakat hanyalah hadiah untuk mereka yang berjuang.”
Entah
mengapa sulit sekali untuk membendung air mata. Setiap kata dari mulut ayah rasanya
seperti bawang merah.
“Besok
kita daftar sekolah bulutangkis. Biar kamu berlatih teknik dengan benar.”
“Darimana
uangnya?”
“Dari
malaikat. Sudahlah, berhenti bertanya tentang uang!”
*****
Kukayuh
sepedaku di tepi aspal yang panas. Seminggu tiga kali, aku pergi ke Diklat
Bulutangkis Merah Putih untuk berlatih dengan pelatih profesional. Baru tiga
bulan, tetapi sendi-sendi tubuhku rasanya mau lepas. Pandanganku terlihat
berkunang-kunang. Dengan sekuat tenaga yang tersisa, aku berusaha tetap
mengayuh. Terdengar bunyi klakson, decitan ban, dan raungan mesin. Suaranya
terdengar semakin mendekat. Tiba-tiba badanku terasa dihantam benda besar. Tubuhku
melayang beberapa saat di udara, terlempar beberapa meter.
Aku
lupa apa yang terjadi. Tanda tanya itu terus bergelayut saat peratama kali
terbangun. Yang aku lihat pertama kali adalah mata ayah yang sembab. Katanya,
aku koma tiga hari.
“Kaki
Siti harus diamputasi.”
Aku
teriak, menutup telinga dengan tangan rapat-rapat. Tak mau mendengar kalimat
yang lebih parah setelah kalimat menyakitkan itu.
“Nggak,
Dok! Aku atlet!”
“Kamu
tetap bisa hebat dengan menjadi apapun, tanpa harus menjadi atlet.” Bisik ayah
lirih. Ayah memelukku erat. Pelukan yang akhirnya meluluhkan hatiku untuk
menuruti perintah dokter itu.
*****
Badannya
yang kian ringkih beberapa kali terlihat memegangi dan mengelus pinggang.
Tiba-tiba ayah terjatuh saat baru selesai meneduhkan sepeda gerobak gulalinya. Beberapa
adonan dan wajan yang masih panas pun menimpa badannya. Dengan refleks aku
berteriak. Berjalan tertatih dengan kursi rodaku.
Dengan
bantuan ketua RT, akhirnya ayah langsung dibawa ke rumah sakit. Beberapa saat setelah
melakukan pemeriksaan, dokter tiba-tiba membunuhku dengan kalimatnya.
“Ayahmu
sakit gagal ginjal. Sulit rasanya harus berjuang dengan kondisi ginjal yang tinggal satu.”
“Tinggal
satu? Dokter jangan melamun!”
Suara
batuk-batuk Ayah tiba-tiba menunda jawaban dokter yang sudah di ujung lidah.
“Ayah?
Kenapa Ayah nggak pernah cerita kalau ginjal Ayah tinggal satu?”
“Walaupun
dengan cara berbeda, bukan sebagai atlet normal, Ayah sangat bangga dan nggak
menyesal sudah menjual ginjal Ayah.”
“Dijual?
Buat apa?”
“Buat
jadi sayap untuk mimpi-mimpimu. Katanya mimpi itu gratis, tetapi ternyata
tidak.”
Seperti
petir yang menyambar, rasanya kalimat itu tidak hanya melumpuhkan kakiku,
tetapi seluruh tubuh. Ruangan ini terlihat semakin mengecil. Ventilasi udara
seperti tiba-tiba merapat, dan celah untuk sinar seakan lenyap.
*****
Asian Para Games Jakarta-Palembang.
Seperti mimpi, aku berjuang di event
besar di tanah air sendiri.
Akhirnya
janjiku tertunai, Indonesia Raya Berkumandang karena keringatku dan keringatmu,
Ayah. Sekarang aku mengerti atas semua takdir menyakitkan itu. Mungkin aku
takkan mendapatkan ini kalau kakiku tak diamputasi.
Setelah
menerima medali, aku langsung memeluk udara. Udara itu adalah kau, Ayah. Ragamu
tak ada, tetapi napas perjuanganmu akan tetap hidup
*****
“Sudahlah,
jangan menangis! Ayah sudah bahagia.” Deni, sepupuku, tiba-tiba menghancurkan
bioskop masa lalu yang tengah berputar di kepalaku.
Tak
ada bunga yang ditaburkan. Hanya ada medali
emas WH2 Para-badminton yang kucoba
kalungkan dalam pusaramu. Terima kasih, kau telah menjadi sayap untuk kakiku
yang patah.
Bandung, 24 Juli 2019
0 komentar:
Posting Komentar