Tubuh ini akhirnya ambruk, merebah lelah
pada dinding rumah sakit. Delapan jam menahan haus dan lapar dengan badan
terbungkus rapat. Bulir air mulai menetes, membayangkan ratusan wajah itu
menjerit dengan napas tersengal. Mata ini mulai menggeriap, tetapi membayangkan
keluarga mereka menahan air mata dari kejauhan, aku mencoba berdiri.
Kemudian teringat pada hari itu, saat
pulang ke rumah tetapi hanya bisa berdiri dari luar pagar. Lambaian tangan
adalah cara kami berpelukan dari kejauhan. Saling terdiam, tetapi tatapan mata
itu penuh kalimat yang tak tersampaikan.
Hari itu adalah hari terakhir aku menengok rumah, sebelum terasing dari lingkungan. Semua warga meneriakiku, beberapa bahkan lari terbirit-birit saat aku lewat dan menyapa. Bapak bilang, keluargaku setiap hari menangis karena ikut terasingkan dari warga. Mereka bilang kami adalah keluarga pembawa malapetaka. Entahlah, rasanya perjuanganku tidak ada artinya. Tetapi demi raga yang lain, aku menutup telinga rapat-rapat.
Meski sudah berusia seperempat abad, Bapak
selalu menganggap aku seorang puteri kecil. Beberapa kali beliau terlihat
menengokku ke rumah sakit meski dari kejauhan. Aku sudah memarahinya, tetapi
beliau tetap tidak peduli. Hingga akhirnya Bapak mengeluh demam, sesak napas,
sakit tenggorokan, batuk dan flu. Dua minggu kemudian, dokter menyatakan
Bapakku positif Covid-19.
Semenjak itu, alasanku untuk terus
berjuang semakin kuat. Meski hanya sesekali memeriksa di ruang isolasi, aku
selalu meyakinkan Bapak kalau beliau pasti sembuh. Menjadi pahlawan garda
terdepan dalam wabah Covid-19 adalah penebusan
atas impian Ibu yang patah. Impian itu akan kuteruskan kepada raga-raga lain
yang tengah berjuang.
***
Ibu pernah bermimpi secara sederhana.
Bukan bermimpi untuk keliling dunia, mempunyai rumah ataupun mobil mewah. Ibu
hanya bermimpi utuk sembuh.
Jauh sebelum Ibu pergi, aku juga pernah mempunyai
mimpi. Saat hari mulai temaram, dengan pakaian putih abu-abu yang mulai basah
dan ternoda.
Aku berkata pelan,”Bapak, Ibu, aku mau
jadi dokter.” Seketika mereka tertawa getir. Mereka bilang, mimpi itu jangan
ketinggian. Ibu hanya penjahit rumahan, sedangkan Bapak hanyalah pedagang sayur
keliling.
“Bapak keliling dunia jualan sayur sampai
lumpuh pun, takkan sanggup membiayai kuliah kedokteran.” Balas Bapak keras.
“Setelah lulus SMA, kamu melamar kerja
saja di pabrik sepatu seperti anaknya Ibu Tina,” lanjut Ibu.
“Pilihannya hanya dua, bekerja atau menikah.”
Sejak saat itu, bintang yang sudah aku
terbangkan begitu jauh di angkasa, seketika jatuh ke dasar bumi. Dengan sesak
yang bergelayut dalam dada, aku mengubur mimpi itu pelan-pelan.
Saat kelas tiga SMA, tiba-tiba aku
mendapat kabar dari rumah kalau Ibu pingsan. Dengan tergopoh, aku berlari
menuju rumah sakit. Seperti petir yang menyambar, dokter mengatakan padaku bahwa
Ibu sakit kanker rahim stadium empat.
Duniaku seolah runtuh. Seluruh warna di
dunia seolah lenyap, menyisakan satu warna hitam. Anehnya, Ibu selalu tersenyum
dan beraktivitas seperti biasanya. Di tengah keterbatasan, beliau berjuang menggapai
impian dengan ramuan daun sirsak sesuai kepercayannya. Sayangnya Tuhan berkata
lain, enam bulan kemudian Ibu meninggal dunia.
Seminggu setelah kepergiannya, hampir
kugoreskan pisau di urat nadi. Sampai akhirnya aku tersadar bahwa hidup ini harus
berlanjut demi keluargaku yang lain.
Aku bukan bintang kelas di sekolah. Bisa
dibilang, aku ini murid pertengahan. Aku tidak pernah masuk sepuluh besar,
tetapi nilaiku bukanlah yang terburuk. Sejak Ibu tiada, aku berusaha belajar
siang dan malam. Rasa gengsi untuk bertanya pun mulai tersingkirkan secara
perlahan. Dengan nekat, potongan puzzle
bintang impian kembali kurangkai. “Aku ingin menjadi dokter!” Teriakku dalam
hati.
Dalam senyap aku belajar dan berdoa.
Hingga tibalah hari itu, aku mendekap Bapak dari belakang. Dengan pandangan
nanar, sambil menghitung uang receh dan lembaran kertas, beliau tercenung.
“Dagangan sepi. Bapak bingung harus membayar
tunggakan SPP dari mana.”
“Alhamdulillah, Lela menjadi penerima
beasiswa alumni. Uangnya sebagian dipotong untuk tunggakan SPP, dan ini sisanya
buat Bapak.” Kataku sambil tersenyum.
Bapak terdiam, tetapi aku tahu matanya
berbicara.
“Selain itu Pak, Lela juga berhasil lulus jurusan
kedokteran di universitas negeri ternama di Indonesia. Tenang, semua biaya dan
uang saku ditanggung pemerintah,” lanjutku.
Seketika Bapak menjatuhkan dirinya ke
tanah, bersujud sambil terisak.
“Maaf, Bapak hampir mematahkan mimpimu.”
Sahutnya sambil bangkit dan memelukku.
***
Pada hari ini, aku bersumpah akan
melanjutkan mimpi Ibu yang telah pergi dan Bapak yang masih berjuang.
Dengan menghela napas panjang, aku kembali
bangkit. Baju pelindung, masker N95, kacamata pengaman, sarung tangan, dan topi
proteksi siap menemenaniku dalam medan pertempuran. Kumasuki pintu ruang
isolasi dengan langkah gemetar. Di sudut ruang ini, ada Bapak yang setia menungguku.
Dengan lirih aku berkata padanya, “ Bapak
pasti sembuh. Semangat dan doa Bapak lebih kuat dari virus itu sendiri. Jangan
takut, aku di sini.”
Seketika senyumnya mengembang. Demi raga
yang lain, aku akan terus bermimpi.
0 komentar:
Posting Komentar