Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 14 Januari 2021

Demi Raga yang Lain

Tubuh ini akhirnya ambruk, merebah lelah pada dinding rumah sakit. Delapan jam menahan haus dan lapar dengan badan terbungkus rapat. Bulir air mulai menetes, membayangkan ratusan wajah itu menjerit dengan napas tersengal. Mata ini mulai menggeriap, tetapi membayangkan keluarga mereka menahan air mata dari kejauhan, aku mencoba berdiri.

Kemudian teringat pada hari itu, saat pulang ke rumah tetapi hanya bisa berdiri dari luar pagar. Lambaian tangan adalah cara kami berpelukan dari kejauhan. Saling terdiam, tetapi tatapan mata itu penuh kalimat yang tak tersampaikan.

Hari itu adalah hari terakhir aku menengok rumah, sebelum terasing dari lingkungan. Semua warga meneriakiku, beberapa bahkan lari terbirit-birit saat aku lewat dan menyapa. Bapak bilang, keluargaku setiap hari menangis karena ikut terasingkan dari warga. Mereka bilang kami adalah keluarga pembawa malapetaka. Entahlah, rasanya perjuanganku tidak ada artinya. Tetapi demi raga yang lain, aku menutup telinga rapat-rapat.

Meski sudah berusia seperempat abad, Bapak selalu menganggap aku seorang puteri kecil. Beberapa kali beliau terlihat menengokku ke rumah sakit meski dari kejauhan. Aku sudah memarahinya, tetapi beliau tetap tidak peduli. Hingga akhirnya Bapak mengeluh demam, sesak napas, sakit tenggorokan, batuk dan flu. Dua minggu kemudian, dokter menyatakan Bapakku positif Covid-19.

Semenjak itu, alasanku untuk terus berjuang semakin kuat. Meski hanya sesekali memeriksa di ruang isolasi, aku selalu meyakinkan Bapak kalau beliau pasti sembuh. Menjadi pahlawan garda terdepan dalam wabah Covid-19 adalah penebusan atas impian Ibu yang patah. Impian itu akan kuteruskan kepada raga-raga lain yang tengah berjuang.

***

Ibu pernah bermimpi secara sederhana. Bukan bermimpi untuk keliling dunia, mempunyai rumah ataupun mobil mewah. Ibu hanya bermimpi utuk sembuh.

Jauh sebelum Ibu pergi, aku juga pernah mempunyai mimpi. Saat hari mulai temaram, dengan pakaian putih abu-abu yang mulai basah dan ternoda.

Aku berkata pelan,”Bapak, Ibu, aku mau jadi dokter.” Seketika mereka tertawa getir. Mereka bilang, mimpi itu jangan ketinggian. Ibu hanya penjahit rumahan, sedangkan Bapak hanyalah pedagang sayur keliling.

“Bapak keliling dunia jualan sayur sampai lumpuh pun, takkan sanggup membiayai kuliah kedokteran.” Balas Bapak keras.

“Setelah lulus SMA, kamu melamar kerja saja di pabrik sepatu seperti anaknya Ibu Tina,” lanjut Ibu.

“Pilihannya hanya dua, bekerja atau menikah.”

Sejak saat itu, bintang yang sudah aku terbangkan begitu jauh di angkasa, seketika jatuh ke dasar bumi. Dengan sesak yang bergelayut dalam dada, aku mengubur mimpi itu pelan-pelan.

Saat kelas tiga SMA, tiba-tiba aku mendapat kabar dari rumah kalau Ibu pingsan. Dengan tergopoh, aku berlari menuju rumah sakit. Seperti petir yang menyambar, dokter mengatakan padaku bahwa Ibu sakit kanker rahim stadium empat.

Duniaku seolah runtuh. Seluruh warna di dunia seolah lenyap, menyisakan satu warna hitam. Anehnya, Ibu selalu tersenyum dan beraktivitas seperti biasanya. Di tengah keterbatasan, beliau berjuang menggapai impian dengan ramuan daun sirsak sesuai kepercayannya. Sayangnya Tuhan berkata lain, enam bulan kemudian Ibu meninggal dunia.

Seminggu setelah kepergiannya, hampir kugoreskan pisau di urat nadi. Sampai akhirnya aku tersadar bahwa hidup ini harus berlanjut demi keluargaku yang lain.

Aku bukan bintang kelas di sekolah. Bisa dibilang, aku ini murid pertengahan. Aku tidak pernah masuk sepuluh besar, tetapi nilaiku bukanlah yang terburuk. Sejak Ibu tiada, aku berusaha belajar siang dan malam. Rasa gengsi untuk bertanya pun mulai tersingkirkan secara perlahan. Dengan nekat, potongan puzzle bintang impian kembali kurangkai. “Aku ingin menjadi dokter!” Teriakku dalam hati.

Dalam senyap aku belajar dan berdoa. Hingga tibalah hari itu, aku mendekap Bapak dari belakang. Dengan pandangan nanar, sambil menghitung uang receh dan lembaran kertas, beliau tercenung.

“Dagangan sepi. Bapak bingung harus membayar tunggakan SPP dari mana.”

“Alhamdulillah, Lela menjadi penerima beasiswa alumni. Uangnya sebagian dipotong untuk tunggakan SPP, dan ini sisanya buat Bapak.” Kataku sambil tersenyum.

Bapak terdiam, tetapi aku tahu matanya berbicara.

“Selain itu Pak, Lela juga berhasil lulus jurusan kedokteran di universitas negeri ternama di Indonesia. Tenang, semua biaya dan uang saku ditanggung pemerintah,” lanjutku.

Seketika Bapak menjatuhkan dirinya ke tanah, bersujud sambil terisak.

“Maaf, Bapak hampir mematahkan mimpimu.” Sahutnya sambil bangkit dan memelukku.

***

Pada hari ini, aku bersumpah akan melanjutkan mimpi Ibu yang telah pergi dan Bapak yang masih berjuang.

Dengan menghela napas panjang, aku kembali bangkit. Baju pelindung, masker N95, kacamata pengaman, sarung tangan, dan topi proteksi siap menemenaniku dalam medan pertempuran. Kumasuki pintu ruang isolasi dengan langkah gemetar. Di sudut ruang ini, ada Bapak yang  setia menungguku.

Dengan lirih aku berkata padanya, “ Bapak pasti sembuh. Semangat dan doa Bapak lebih kuat dari virus itu sendiri. Jangan takut, aku di sini.”

Seketika senyumnya mengembang. Demi raga yang lain, aku akan terus bermimpi.

 


0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

liukan pelangi

Wavy Tail

Blogroll

About