“Aku memilikimu dalam hembusan angin. Meski terlambat. Tapi, angin tak akan pernah
berdusta jikalau daun yang gugur ‘pernah’ bersatu dengan tangkainya. Dulu.
Mesti kini tak akan kembali. Kata ‘pernah’ cukup membuatku bahagia.”
Hari
ini benar-benar hari yang tak biasa. Istimewa. Untuk pertama kalinya, gelar sebagai
seorang mahasiswa, aku sandang secara
resmi. Wajah-wajah baru aku telisik dengan seksama. Gerombolan mata sipit,
cukup terlihat dominan di depan mataku. Orang berkaca mata tebal, aku rasa tak
kalah banyak. Rambut-rambut keriting dengan kulit hitam khas pun patut di
perhitungkan. Ya, seribu wajah manusia dari berbagai sudut nusantara aku temui
disini. Di kampus miniatur Indonesia yang baru saja aku jejaki. Satu minggu
lalu.
Ber-be-da,
satu kata yang terus memenuhi memori otakku sejak pertama kaki ini berpijak. Di
kota ini, Bandung. Tak ada lagi cuaca panas yang memaksakan ribuan pori
mengeluarkan butiran airnya. Tak ada lagi senyuman ayah saat pagi menyapa. Tak
ada lagi masakan ibu yang memanjakan lidahku setiap hari. Tak ada lagi sahabat
di SMA yang selalu tertawa usil, saat kubuka pintu kelas. Tak ada lagi. Semua
berbeda.
Semua
berbeda? Aku rasa tidak. Masih ada sisa yang enggan beranjak pergi. Setidaknya, ada tiga hal yang tak pernah berubah. Pertama, Dia
adalah bulan. Bulan yang selalu aku tatap meski bintang tertutup awan hitam.
Tapi, ia tak pernah berubah. Ia masih bulan yang aku tatap di kota kelahiranku.
Kedua, dia adalah matahari. Matahari itu tak pernah berubah. Meski sinarnya
tampak lebih redup. Tapi, dia masih matahari yang sama seperti matahari yang
bersinar di kota kelahiranku. Ketiga, dia adalah Fadhel. Mantan kekasih yang aku
lepaskan dengan penuh penyesalan . Statusnya kini tak lagi sama. Tapi, frasa
‘pernah memiliki’ tak akan pernah berubah.
Fadhel,
si pria jangkung itu. Badannya yang ceking kini terlihat lebih berisi. Jerawat yang telah menetap di mukanya
selama bertahun-tahun, kini tak ada lagi. Bahkan, senyumnya mengembang lebih
lebar dari biasanya. Dari biasa saat dulu bersamaku. Saat biasa ia menahan air
mata untuk meladeni sikap egoisku yang terlalu menyakitkan. Kini, aku
melihatnya dari kejauhan. Di depan perpustakaan itu, aku lihat dia tertawa
lepas bersama teman-teman jurusannya.
“Woy,
Raisa! Lo jangan ngelamun dong! Cepet ke ruang 9222, acara pengenalan jurusan
udah mulai dari tadi ! Kita udah telat.” Syeila merenggut lamunan yang tengah
aku jamah. Ia mengembalikanku ke dalam realita yang teramat pedas. Realita
bahwa Fadhel hanyalah masa lalu. Yang
tak akan pernah kembali. Aku pun berjalan mundur sambil sesekali menoleh
kebelakang, sebelum benar-benar bisa berjalan lurus ke depan.
##########
Aku
kira,
belum terlalu
lama kampus ini masuk ke dalam catatan sejarahku.
Kuliah yang padat, tugas yang menggunung dan UTS yang datang susul menyusul
setiap minggu seakan menanggalkan kalimat itu. Kini, aku seperti mahasiswi yang
tengah sibuk mengerjakan tugas akhir. Aku hanyalah mahasiswi semester pertama
yang haus akan ambisi. Impianku bisa lulus
dengan IPK di atas 3,5 tak boleh berakhir sebagai mimpi yang lenyap termakan
waktu.
Bisa bekerja di perusahaan multinasional,
punya mobil alphard, jalan-jalan keliling eropa dan selfie di bawah menara
Eiffel. Lagi-lagi, khayalan dan ambisi itu kembali menghentikan waktu.
Sejenak. Membawaku ke dalam memori masa lalu. Bersamanya. Mimpi-mimpiku sejak
SMA itu aku tulis jelas di atas kertas origami berwarna-warni. Aku tempel di
dinding kosan yang catnya mulai memudar. Mimpiku? Bukan, itu mimpi kita. Mimpi
aku dan Fadhel saat SMA dulu. Mimpi-mimpi itu selalu kita ucapkan saat kita
sedang berdua. Saat duduk di pantai
sambil memandangi ombak yang bergoyang aduhai. Saat makan sederhana di rumah
makan sederhana dengan penampilan sederhana dan cinta yang sederhana. Atau
bahkan sekedar minum jus alpukat di tempat favorit kita.
Salah
satu mimpi besar kita kini tak pantas lagi kita sebut mimpi. Karena mimpi itu
kini kenyataan. Mimpi bisa masuk universitas terbaik bangsa. Mimpi yang selalu
kita panjatkan dalam doa. Aku sebut namamu dalam doaku. Dan kamu sebut namaku
dalam doamu. Demi satu tujuan, kita bisa masuk universitas yang sama dan lulus
dari universitas yang sama. Tapi, sudahlah lupakan. Itu mimpi kita. Sedangkan,
tak ada lagi kata ‘kita’. Kita telah melebur menjadi aku dan kamu. Aku-kamu yang terpisah oleh spasi serta tanda hubung
‘dan’. Aku-kamu yang tak bisa lagi disebut dalam satu kata.
#######
Rintik-rintik
hujan mengeroyokku tiada henti. Meski bukan kerikil yang keras. Namun, lebih
mematikan. Rintik-rintik itu bukanlah butiran yang bisa dihitung dengan jari.
Mereka adalah tetes-tetes air yang membasahiku dalam jumlah ribuan atau bahkan
jutaan. Mereka bisa membunuhku perlahan. Aku bisa mati kedinginan.
Dengan
rambut dan baju yang basah kuyup, aku masuk ke dalam ruang perpustakaan yang
ber-AC. Buku kalkulus yang aku pegang, turut basah dan sebagian tintanya
meluntur. Aku telusuri setiap sudut ruangan. Di lantai satu nampak gaduh dengan
mahasiswa yang tengah berdiskusi “Isu Kenaikan Harga BBM”. Di lantai dua,
hampir tak ada bangku yang bisa aku duduki. Semua sesak dengan mahasiswa yang
tengah bercengkarama dengan buku-buku super tebal. Di lantai tiga, hampir tak
ada celah. Namun, bangku di sudut ruangan tepat di sebelah kaca itu sedikit
menyegarkan. Akhirnya, aku bisa duduk setelah melangkah dengan tertatih. Aku
lelah usai berlari-lari menerobos hujan. Aku lelah setelah menaiki beberapa
anak tangga yang licin dan gelap. Seteguk air minum sedikit menormalkan alunan
napasku yang terengah-engah.
“Mau
ndak kamu ajarin aku bab integral ganda? Aku benar-benar buta bab ini .” Kata
seorang yang duduk tepat arah jam
delapan dari sisiku. Wanita dengan logat Jawa kental sedang menatap kawannya
dengan penuh harap.
“Ah,
aku mah apa atuh. Aku mah nggak ngerti apa-apa. Dari tadi aku teh cuma bengong
, ngerjain satu soal nggak bisa-bisa.” Jawab kawannya yang duduk tepat di
sampingku. Dasar ambisius ! Nggak ngerti apa-apa? Bagaimana mungkin, dari tadi tangannya
menuntun pena tanpa henti. Seluruh jawaban dari Bundel soal itu tertulis ulang
dengan rapih dalam kertas buram. Bahkan, beberapa halaman nampak tak terlihat
kata dan kalimatnya. Semua semrawut tertutup jawaban yang ditulis ulang dengan
pena hitam. “Hahaha” aku berguman lirih. Aku seperti melihat bayangan diri
namun bukan dari sebuah cermin. Dari dia, seseorang yang duduk tepat di sebelah
kananku. Aku melihat keegoisan yang selama ini menancap sedari dulu. Hahaha, aku kembali tertawa dalam hati.
Aku nggak sendiri. Senang rasanya bisa berada di kampus dengan ribuan orang
yang satu prinsip denganku. Teman adalah teman saat bermain dan bercanda. Tapi
teman adalah musuh saat berhubungan dengan masa depan.
Aku
mencoba kembali fokus. Sambil menunggu buku kalkulusku yang belum
mengering, aku menyalakan laptop. “Ah sial!! “ teriakku
kesal. Belum sempat laptopku menyala sempurna, baterainya tiba-tiba habis.
Laptop pun mati. Ya, tapi untunglah, di perpustakaan ini, stop kontak berjejer dimana-mana. Sial, tangan laki-laki yang
tengah tertidur itu menutupi stop kontak di atas mejaku. Aku coba menggeser tangannya
sedikit. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali menempatkan tangannya ke
posisi semula. Muka laki-laki itu tertunduk di atas buku yang tengah di
bacanya. Ingin rasanya menyiram muka laki-laki itu dengan air comberan. Dia
sudah benar-benar membuang waktuku. Teman-temanku sedang memakai waktunya untuk
membaca dan mengerjakan soal. Sementara, waktuku terbuang sia-sia hanya karena
laki-laki ini. Aku tak akan memaafkannya jikalau Kalkulusku gagal mendapat
indeks A .
Mataku
yang sempat tertunduk kesal kembali terangkat ke depan. “Tidak!” Dunia seketika
terhenti. Tubuhku mematung tanpa arti. Tepat 180 derajat di depan mataku, lelaki itu terbangun dari tidurnya. Lelaki
yang rambutnya terlihat acak-acakan seusai tidur. Lelaki yang dahinya ada bekas
memerah, tertekan bolpoin yang keras. Lelaki yang tangannya aku pegang berulang
kali. Lelaki itu dia, Fadhel.
Kami
sempat saling menatap. Sebelum pandangan kembali teralihkan. Aku serongkan
sedikit badanku menjauh darinya. Dia pun langsung sibuk menatap bukunya. Seolah
acuh akan kehadiranku. Kami seolah acuh akan predikat ‘saling mengenal’. Kami
seolah-olah sibuk akan dunia masing-masing. Andai dia tahu, mataku tak
benar-benar menatap buku kalkulus itu. Mataku hanya sedang menatap masa lalu
bersamanya. Masa lalu yang benar-benar aku sesali.
Aku
menyesal, kenapa dulu aku benar-benar buta. Sesosok Vino aku anggap
kerlingan matanya lebih indah. Mata dengan hiasan bulu mata yang lentik.
Sesuatu yang tak ada dalam mata Fadhel. Karena, di mata Fadhel hanya ada sebuah
ketulusan sederhana. Senyuman Vino dengan lesung pipitnya terlihat lebih manis.Sesuatu yang tak pernah
terlihat dari pipi Fadhel. Karena ia
hanya bisa menghiasi senyumnya dengan ketulusan. Tapi, ambisi. Lagi-lagi
ambisi. Ambisi bisa mendapatkan sosok yang lebih sempurna meluluhlantakkan
segalanya. Aku memutuskan jalinan cinta yang baru berumur jagung itu demi Vino.
Vino, pria yang ternyata tak pernah mencintaiku dan hanya menganggapku sahabat.
Dia pergi, tanpa kabar dan permisi. Sementara, fadhel yang dulu sempat mengemis
enggan melepaskanku itu aku lepaskan dengan
keji. Benar kata orang, kamu baru tahu apa itu cinta dan kehilangan setelah
orang yang ternyata benar-benar kita cintai itu pergi.
#######
Sudah
hampir satu semester aku berkuliah di sini. Aku tersenyum haru saat kembali
melewati pintu gerbang utama lengkap dengan icon
yang membuat bulu kudukku selalu merinding. Icon gajah kebanggaan yang
memang pantas dibanggakan. Terlihat bunga-bunga
bermekaran menghiasi jalan. Masih terlalu pagi memang. Tapi semangatku
sudah benar-benar menyala. Tak sabar rasanya bisa belajar, berganti semester
bahkan lulus dari kampus ini. Segera.
“Fadhel
meninggal.” Kalimat yang terdengar sayup dari orang yang tengah berlalu lalang
seketika menonjok jantungku. Ah, mungkin hanya
ilusi atau Fadhel-Fadhel yang lain.Bisikku dalam hati. Setelah langkahku
berjalan semakin membelakangi gerbang utama, rangkaian bunga belasungkawa
berjejer rapih di depanku. Fadhel
Avrialiano Putra,terbaca jelas nama itu di mataku. Benar, Fadhel itu dia,
mantan terindah yang pernah aku cabik hatinya. Dia pergi, sebelum mimpi kita
untuk bisa lulus dari kampus yang sama itu terwujud. Ia pergi, sebelum kita
bisa kembali bertegur sapa. Ia mati dalam ketidaktahuan. Teman kosannya
mendapati ia sudah tak bernyawa tanpa terduga. Ia sedang terduduk dalam dekapan
buku-buku tebalnya. Ambisinya demi meraih
predikat mahasiswa berprestasi ternyata membunuhnya secara perlahan.
Ambisi dan IPK seakan jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Rasa lapar dan
dahaga ia acuhkan. Lagi-lagi demi ambisi. Hingga ia pun lupa maag kronis
menggorogoti tubuhnya hingga meninggal.
Meski terlambat. Tapi,
angin tak akan pernah berdusta jikalau daun yang gugur ‘pernah’ bersatu dengan
tangkainya. Dulu. Mesti kini tak akan kembali. Kata ‘pernah’ cukup membuatku
bahagia.
sumber gambar
:https://lh3.googleusercontent.com/Uf9GSbemu-wNFy13syUUDwjjpcu5_ACfuFlrgBmxUmKHgDEtTjC_P6Cbj1WKYJxtbQGIPQ=s131
sumber gambar
:https://lh3.googleusercontent.com/Uf9GSbemu-wNFy13syUUDwjjpcu5_ACfuFlrgBmxUmKHgDEtTjC_P6Cbj1WKYJxtbQGIPQ=s131
0 komentar:
Posting Komentar