Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 25 Mei 2015

Wanita Gila dan Bangku Pintarnya

Image result for bangku taman


Sulur-sulur sinar mentari mulai berhenti menyapa. Cahayanya musnah, tertutup jingga dalam langit yang merindukan rembulan. Rembulan, lampu terindah dari jutaan lampu indah di kota ini. Cahayanya berpendar menelisik setiap kegamangan.
Memandangi langit dengan warna-warna monoton yang menjemukan. Biru, putih, abu-abu, jingga, hitam. Tak ada ungu. Tak ada hijau. Mmmm.. katanya di langit itu ada pelangi, me-ji-ku-hi-bi-ni-u, tapi aku tak pernah melihatnya. Ah, tapi aku  tetap suka memandanginya. Serentetan kata yang berjibaku dalam pikiran, ingin segera kumuntahkan dalam telinga pencipta-Nya. Sesekali kuingin marah kepada-Nya. Terlalu sering aku mendengar ceramah ustad yang terdengar dari toa masjid seberang, katanya “Daun yang gugur, embun yang meluruh, semua sudah diatur oleh-Nya.” Bukankah itu artinya bahwa Dia yang telah mengaturku menjadi sebuah bangku taman. Tapi kenapa mesti bangku taman? Aku ingin menjadi manusia. Makhluk yang mampu melangkah dengan kakinya. Kaki yang mungkin bisa membawaku ke tempat yang lebih teduh.
Tunggu ! Aku merasakan tendangan kaki memukul-mukul punggung belakangku.
Ah, wanita itu lagi. Wanita gila itu. Baunya menyengat. Rambut gimbalnya panjang tak terurus. Baju kebaya mahalnya kian compang-camping. Baju  kebaya yang seharusnya ia kenakan tepat 25 Juni lima tahun lalu. Lima tahun sudah ia terkungkung dalam bongkahan masa lalunya. Lima tahun dalam roman wajah kumal tak terawat. Menjijikkan. Lihat saja, kutu-kutu dari rambutnya berlompatan menghinggapiku. Ah, tapi biarlah. Saat terik matahari membakar tubuh dan angin enggan menyapa, dia selalu ada. Saat angin malam mengoyak ragaku dan rembulan tak mampu menghangatkan, dia tetap setia. Hanya dia, teman yang menemaniku saat kepanasan dan kedinginan.
“Hahahaha, bangku pintarku sayang. Aku sayang sekali sama kamu. Kamu tahu kenapa aku memanggilmu sayang? Hahhaaha..hihihi… karena orang yang selalu aku panggil ‘sayang’ telah pergi. Pergi bersama masa lalunya. Hihihihi… dan sekarang akulah masa lalunya.  Aku lah masa lalunya! Hahahhaha…”
Kasihan sekali wanita itu. Masih membekas  wajah ayunya lima tahu lalu. Saat eyeshadow dan mascara masih mempertajam matanya yang berbinar. Binar yang kini telah lebam terenggut kantung mata hitam dan daki tebal. Blush on dan lipstick merah jambu yang dulu selalu memoles senyum sumringahnya, kini tinggal kenangan tak berbekas. Rambut yang tersanggul rapih, high heel 10 cm, stocking hitam transparan, rok di atas lutut, kemeja tersetrika rapih dan nametag dari Bank tempat ia bekerja, sungguh tak bisa lekang dalam bayangan wajahnya. Sungguh teramat sulit dipercaya, wanita cantik itu dia, wanita gila itu.
******
Lima tahun berlalu mengelibatkan sejuta kenangan yang tak pernah terjelaskan. Kata-kata yang tak pernah dimengerti. Sajak-sajak romantis yang kembali terurai  hurufnya. Serta kisah yang masih berupa tanda tanya. Terkadang, drama kehidupan wanita gila itu sungguh membuatku gila.
Lima tahun, entahlah, ini terlalu lama ataukah sebentar untuk mengerti apa itu hidup dan cinta. Dua kata yang selalu aku dengar dari wanita gila itu. Lima tahun lalu, saat walikota masih  mempromosikan “Kota Pintar” dalam kampanye Pilkadanya. Hingga ia terpilih dan janji-janjinya telah terealisasi, pertanyaan itu masih bergelayut.
Masuk dalam tiga besar kota terpintar dunia versi majalah beken di Amerika, membuat walikota semakin besar kepala saja. Lihat saja, ia kembali terpilih menjadi walikota untuk kedua kalinya dengan mudah.  Taman alun-alun ini pun semakin spektakuler dibuatnya. Jam pintar, gapura pintar, robot sampah pintar, sirine pintar. Mungkin hanya aku, barang bodoh di taman ini. Aku hanya bangku biasa yang tak bisa melakukan apa-apa. Bahkan menyeka air mata dan meneduhkan wanita gila itupun aku tak mampu.
Kota pintar, sebuah sebutan yang terlalu hiperbola. Benar juga kata wanita gila itu. Apa artinya sebuah euphoria, jika didalamnya tak ada kebahagiaan dan cinta. Ah, kota sampah.  Walikotanya pun tak lebih dari sampah. Lambat sekali ia merenda serentetan janji yang telah  ia rangkai sendiri. Andai  sirine tanda bahaya itu  lebih cepat terealisasi, mungkin kejadian malam itu tak pernah terjadi. Malam di mana wanita itu memelukku sembari berjerambab air mata. Malam dimana ia membawa ratusan undangan pernikahan berwarna ungu yang bertuliskan nama “ Nadine dan Dirga”. Malam dimana ia tertidur bersama surat-surat undangan yang berserakan seusai amukkannya  pecah. Malam dimana kesuciaannya terenggut segerombolan lelaki hidung belang yang tengah mabuk. Kesucian yang seharusnya ia berikan kepada suaminya. Tepat di malam pertamanya tanggal 25 Juni lima tahun lalu. Tapi tanggal 25 juni lima tahun lalu itu nyatanya tak pernah ada. Hari itu benar-benar terhapus dari kalender sejarahnya.
“Sekarang pukul dua puluh tiga.” Suara dari jam pintar disertai bunyi dentuman sebanyak 23 kali itu mengagetkanku. Jam pintar yang terpasang di alun-alun kota itu, mampu terdengar hingga ke seluruh sudut kota. Bunyinya teramat keras. Namun, sekeras apapun itu, takkan mampu membangunkan wanita gila yang tengah rebah dalam pangkuanku. Biarlah ia terlelap. Biarlah. Seringai wajah rembulan terlalu bengis untuk ditatapnya.
*****
Rembulan telah menelungkup di lekuk fajar. Embun mulai meluruh membasahi rerumputan di bawah kaki-kakiku. Tunggu, wanita gila itu sudah beranjak nampaknya. Ia tengah asyik mondar-mandir melewati gapura pintar itu.
“Hahahaha… bangku pintarku sayang, kamu tahu apa yang gapura itu katakan? Dia bilang ‘ Selamat pagi !’ Hoohhooohoho…hahahaha... kata yang selalu diucapkan lelaki bajingan itu tiap pagi kepadaku. Mmm, tunggu ! Apakah ini artinya bahwa gapura itu mencintaiku? Tidak, tidak, tidak ! Dia tak boleh mencintaiku. Cintaku masih untuk dia. Lelaki itu. Aku yakin, lelaki bajingan itu pasti kembali. Pasti. Hahahhaha. Iya kan, sayang? Hahahaha.”
Gapura pintar itu, dia mencari gara-gara lagi.  Orang memanggilnya Gapura Pintar karena setiap ada yang melewatinya, ia akan mengucapkan : Selamat pagi atau selamat sore atau selamat siang atau selamat malam. Bahkan, gapura itu mampu menyuarakan quote-quote keren yang sanggup membangkitkan motivasi pendengarnya.  Aku jadi teringat, empat tahun lalu, saat kegilaan wanita itu belum separah ini. Saat ia memasuki gapura dengan mata sembab dan bulir-bulir yang belum mengering. Lalu, quote, “ Masa lalu adalah kenangan, hari ini adalah kenyataan, masa depan adalah harapan”  itu diperdengarkan. Ia lantas menyeka air mata dan memaksakan lekukan bibirnya. Ironisnya, rangkaian kata yang seharusnya menjadi obat itu berubah menjadi racun yang semakin memporak-porandakan susunan syarafnya. Kalimat terakhir itu , ‘masa depan adalah harapan’,  membuatnya percaya bahwa masa depan bersama lelaki bajingan itu, akan terus dan terus menjadi harapan yang pasti bisa terwujud.
Ah, sudahlah lupakan gapura itu. Ia hanya figuran yang tak perlu dibesar-besarkan.
 Wanita gila itu semakin menggila dalam ceruk sendu dunia yang meronta. Bayangkan, dalam pedih-perih yang memuncak, ia masih mengenal kata harapan. Harapan yang seharusnya telah lama menguap bersama kelakar lepasnya.. Tak cukupkah kata perpisahan, sakit hati dan melepaskan, menghapus kata harapan dari benaknya. Bukankah selama ini ia telah melupakan apa itu nasabah, kurs, valuta asing, bunga, debit, kredit dengan teramat mudah. Semudah ia mengucapkan hahaha…hihihi…huhuhu..hohoho. Tapi kenapa kata harapan tetap saja membuat angannya terbelalak?
*****
Wanita gila itu, bersembunyi di balik punggungku. Sesekali tertawa, sesekali menangis. Terkadang duduk bersila, terlentang, jongkok, ia mengganti-ganti posisinya setiap menit. Satu hal yang tak pernah berubah, yakni pandangannya. Matanya tak beranjak melototi sebuah ukiran di belakang punggungku. Ukiran berbingkai ‘love’ yang di dalamnya terpahat nama ‘Nadine dan Dirga’. Aku tentu tidak akan melupakan senja itu. Saat dimana kau dengan pipih merah merona menganggukkan kepala dan menerima sekuntum bunga mawar darinya. Di senja itu, mereka memahatku yang masih terbalut cat merah muda menyala dengan cutter sederhana. Hingga aku kembali telanjang, ukiran itu pun masih utuh. Sungguh mengharukan.
“Orang gila! Orang gila !”
Sepasang balita kembar menggemaskan tiba-tiba datang bertepuk tangan dan menyorakinya, “Orang gila!”  Teriakan-teriakan itu mengatupi kisah-kisah yang tengah hinggap dalam otaknya.
“Aduh, Lala, Lili, apa yang kalian lakukan sayang? Sudah papa bilang, jangan dekat-dekat orang gila itu. Nanti kalian digigit loh. Sini-sini !”
Ah, laki-laki itu. Laki-laki yang dengan teganya membatalkan  pernikahan yang tinggal sebulan lagi terlaksana. Saat gedung, kue, kebaya, undangan, foto telah dipersiapkan secara sempurna. Dengan mudahnya ia membatalkan semua itu. Hanya demi wanita masa lalunya. Wanita yang tiba-tiba kembali menemuinya seusai menamatkan pendidikan di Perancis. Ya, wanita itu, Ibu dari anak-anak kembarnya.
Aku jadi teringat, lima tahun lalu. Saat wanita gila itu bersandar di bahunya sembari menatap lembayung senja. Mereka menuliskan skenario hidup yang ingin mereka lalui di masa depan. Menikah, punya anak kembar cantik bernama Lala Lili dan hidup bahagia selamanya. Lihat sekarang, bukankah alurnya terjadi seperti apa yang telah mereka tulis? Sayangnya, tidak. Kenyataannya, wanita gila itu bukanlah pemeran utama dari skenario yang telah dibuatnya sendiri. Ia hanya figuran yang tak penting. Ya, hanya figuran orang gila.
Gara-gara melihat keluarga kecil ini, aku jadi teringat sesuatu. Sesuatu yang pernah wanita gila itu ceritakan kepadaku. Aku terisak saat mendengar dan mengingat tragedi itu. Tragedi dimana seluruh keluarga wanita gila itu mati tragis. Ayah, Ibu, kakak, adik, nenek, paman, bibi, semuanya mati bersamaan. Mobil keluarga yang sedang melaju menuju kota ini tiba-tiba masuk jurang. Ah, lagi-lagi gara-gara laki-laki bajingan itu. Ayahnya kena serangan jantung saat mengemudi. Ia syok saat putri kesayangannya menelpon sambil tersedu-sedu berkata, “Pernikahan dibatalkan.”
Dia kehilangan semua orang yang dicintainya sesaat setelah kehilangan seseorang yang dicintainya. Sampai sekarang aku masih tak mengerti, lebih sakit mana rasanya ditinggal seorang lelaki yang teramat dicintai ataukah semua anggota keluarga yang teramat dikasihi.
*****
Saat pandangan mata wanita gila itu tengah menyapu langit, tiba-tiba segerombolan lelaki bertato dan bertindik datang dari arah belakang. Dengan tanpa basa-basi mereka menggerayangi tangan wanita gila itu. Tidak, kejadian malam itu tak boleh terulang! Aku tahu, sia-sia memang mempertahankan kesucian yang tak lagi pantas disebut kesucian. Tapi salahkan bila mempertahankan harga diri untuk kedua kalinya? Ah, tapi apa yang harus aku lakukan? Aku hanya bangku bodoh yang hanya bisa diam dan membisu.  Tuhan, ya, mungkin Dia satu-satunya harapan yang mampu mendengar jeritan sebuah bangku bodoh.
“Iya bagus, mundur! Terus mundur! Sedikit lagi, mundur! Mundur!” Aku pun terus berteriak layaknya komentator bola dalam partai final.
“Iya, tekan ! tekan ! Berhasil! ”
Akhirnya, Tuhan berhasil menuntun jemari wanita gila itu. Meski tergopoh, ia menekan tombol sirinenya dengan tepat.
Sirine pinter itu mampu mengeluarkan teriakan, “Tolong! Tolong!” sembari memancarkan sinyal bahaya yang menyala-nyala menembus langit. Canggihnya lagi, sirine ini langsung terhubung ke kantor polisi terdekat dan mampu menampilkan GPS lokasinya. Bahkan, sirine ini bisa dinyalakan melalui gadget jika tombolnya terlampau jauh untuk direngkuh.
Dalam hitungan menit, polisi datang dengan seragam lengkapnya. Dengan santai, para preman itu malah berkilah jika wanita gila itu hanya iseng menekan-nekannya. Tentu saja, polisi-polisi itu lebih mempercayai para preman mabuk ketimbang seorang wanita gila. Untungnya, wanita itu gila. Jika  tidak, mungkin dia sudah didenda lima juta rupiah karena dituduh telah melanggar Perda penyalahgunaan sirine.
 Tanpa perdebatan sengit, kejadian malam itu berlalu begitu saja. Polisi-polisi itu pergi tanpa tuntutan dan tahanan. Aku mendengarnya, ketika salah satu dari mereka berucap, ”Masih banyak orang waras yang mesti diurus. Masih banyak juga orang waras yang bisa diperas. Apa yang mesti kita harapkan dari orang gila. Hahaha.”  Ya, pemikiran yang sangat masuk akal, Pak. Masuk akal pula jika aku jadi berpikir bahwa makhluk hidup di kota pintar ini tak lebih pintar dari benda-benda mati disekitarnya. Iya kan?
Para preman itu pun  enggan melanjutkan aksinya. Dengan sempoyongan mereka berjalan meninggalkan wanita gila itu. Dan wanita itu mengakhiri semuanya dengan tawa. Seakan tak ada sesuatu apapun yang tengah terjadi.
*****
Rembulan telah lenyap, namun mentari tak jua menampakkan wajahnya. Angin datang begitu kencang. Liukannya mampu menghamburkan dedaunan yang berserakan di udara. Sehelai demi helai daun menampar wajah wanita gila itu. Wajah yang tengah mengkerut lirih. Tercekat perih yang tak jua terobati. Ia masih tak bergeming. Meski mendung telah menjadi gerimis.
Dengan mata sendu berkaca-kaca ia melepaskan cincin yang melingkar di pangkal jari manisnya. Cincin pertunangan, satu-satunya barang berharga yang masih ia punya sampai saat ini. Apapun dan bagaimanapun caranya, ia akan terus menjaga benda itu. Beberapa kali benda itu hampir berpindah  ke tangan-tangan jahanam. Dengan sekuat tenaga, ia meraung dan mengambilnya kembali. Tak sia-sia, lima tahun ia mampu mempertahankannya meski dalam ketidakberdayaan.
Namun, tiba-tiba cincin itu jatuh terlempar ke belakang tubuhku. Sialnya, tiba-tiba robot pintar berpatroli menyusuri sudut taman. Ia mendeteksi dan menyedot sampah-sampah kecil yang ada disekelilingnya. Cincin itupun dengan sigap ia lahap. Sekali tertelan, benda itu takkan bisa keluar. Benda itu langsung terurai di dalamnya dan keluar menjadi butiran debu.
Wanita gila itu meronta sambil melempari robot itu dengan batu dan mengatainya ‘gila!’.
Tepat arah 180 derajat robot itu berhenti, tiba-tiba pandanganku teralihkan kepada sosok lelaki di depan sana. Lelaki yang tengah berteduh di bawah pohon beringin sembari melambai-lambaikan tangan menyetop taksi. Naas, tak satu taksi pun berhenti menanggapinya. Tubuhnya semakin kuyup terguyur hujan yang tak mampu di tangkis dedaunan yang menaunginya.
Wajah lelaki itu sesekali menoleh ke depan sesekali menoleh ke belakang. Ia menoleh ke belakang, mengamati tingkah wanita gila itu sembari tertawa sinis.
Angin bertiup semakin kencang. Suaranya bergemuruh menembus cakrawala. Tak hanya dedaunan dan sampah kecil yang berterbangan. Pepohonan dan tiang listrik pun tumbang satu-persatu. Pohon beringin tempat lelaki itu berteduh pun akhirnya menyerah pada angin. Batangnya yang besar langsung menimpa tubuh lelaki kurus itu. Nyawanya langsung melayang, terbang bersama angin yang telah merenggutnya.
*****
Beberapa jam kemudian, Jenazah lelaki itu pun segera dievakuasi. Para petugas, warga dan reporter dari berbagai media datang mengerumuninya. Sementara, wanita gila itu lompat-lompat kegirangan. Ia mengajak berbicara semua benda-benda di sekitarnya. “Selamat, sekarang aku mau mengakui kota ini kota pintar. Eiitts, jangan ge-er, ini bukan gara-gara kau yang pintar. Kamu tahu kenapa? Ya, karena pohon beringin tumbang itu. Dia telah membunuh lelaki itu. Dia pintar, tahu bagaimana caranya membalas dan mengakhiri sakit hati.” Kalimat itu diucapnya berulang-ulang dengan persis.
Saat bersamaan, di berbagai sudut kota, petugas diterjunkan untuk membersihkan puing-puing, sampah dan pohon yang berserakan. Tak terkecuali taman alun-alun ini. Setali tiga uang, petugas pun  membersihkan sampah masyarakat di sekitarnya. Wajar saja, besok ada acara pelantikan pak walikota yang baru terpilih untuk kedua kalinya. Wanita gila itu, tentu dianggap sampah yang harus dijauhkan. Para petugas menarik tangannya dengan paksa. Ia berontak. Sia-sia, tangan petugas lebih cekatan dan kuat darinya.
            Sebelum pergi, wanita gila itu menendangku dengan keras sambil berkata, “Mampus kau!” Saking kerasnya, kaki sebelah kananku patah. Dari kaki, kerapuhanku merambat ke atas. Dengan mudah, pembatas sebelah kananku  ikut patah.
            Saat punggung wanita gila itu pergi menjauh, tiba-tiba sebuah surat undangan yang masih terbungkus plastik keluar dari sela-sela antara kaki dan pembatas kananku. Undangan yang telah terselip lima tahun lalu dengan nama ‘Nadine dan Dirga’.
            Sayang sekali, wanita gila itu tak sempat melihatnya. Ia sudah diangkut ke dalam mobil. Selang beberapa menit, aku pun turut diangkut petugas. Aku dimasukkan ke sebuah truk sampah. Aku memang sudah menjadi puing-puing kayu yang tak perguna. Aku sampah.
Selamat tinggal wanita gila. Terima kasih atas segala pelajarannya. Sekarang aku tahu apa itu hidup dan cinta. Sekarang aku mengerti, dua hal itu sepenuhnya milik dan untuk Dia, bukan dia. Sambil memandangi langit aku seakan bisa melihat-Nya. Meski bukan dengan mata telanjang. Aku melihat-Nya dengan sesuatu yang bisa dirasakan. Mozaik kisah wanita gila itu adalah caraku melihat-Nya. Keindahan dan keteraturan langit juga menjadi caraku melihat-Nya.
Aku mengerti, mengapa takdirku adalah bangku taman. Tiada yang sia-sia. Sungguh beruntung, aku bukan manusia. Aku tak perlu merasakan patah hati yang teramat memilukan itu.  Terima kasih wanita gila. Kecup manis dari jauh untukmu. Bangku pintar kesayanganmu.

Penulis : Porpora

Sumber gambar : aishana08.deviantart.com


0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

liukan pelangi

Wavy Tail

Blogroll

About