Sulur-sulur
sinar mentari mulai berhenti menyapa. Cahayanya musnah, tertutup jingga dalam
langit yang merindukan rembulan. Rembulan, lampu terindah dari jutaan lampu
indah di kota ini. Cahayanya berpendar menelisik setiap kegamangan.
Memandangi
langit dengan warna-warna monoton yang menjemukan. Biru, putih, abu-abu,
jingga, hitam. Tak ada ungu. Tak ada hijau. Mmmm.. katanya di langit itu ada
pelangi, me-ji-ku-hi-bi-ni-u, tapi
aku tak pernah melihatnya. Ah, tapi aku tetap suka memandanginya. Serentetan kata yang
berjibaku dalam pikiran, ingin segera kumuntahkan dalam telinga pencipta-Nya.
Sesekali kuingin marah kepada-Nya. Terlalu sering aku mendengar ceramah ustad
yang terdengar dari toa masjid seberang, katanya “Daun yang gugur, embun yang meluruh, semua sudah diatur oleh-Nya.”
Bukankah itu artinya bahwa Dia yang telah mengaturku menjadi sebuah bangku
taman. Tapi kenapa mesti bangku taman? Aku ingin menjadi manusia. Makhluk yang
mampu melangkah dengan kakinya. Kaki yang mungkin bisa membawaku ke tempat yang
lebih teduh.
Tunggu
! Aku merasakan tendangan kaki memukul-mukul punggung belakangku.
Ah,
wanita itu lagi. Wanita gila itu. Baunya menyengat. Rambut gimbalnya panjang
tak terurus. Baju kebaya mahalnya kian compang-camping. Baju kebaya yang seharusnya ia kenakan tepat 25
Juni lima tahun lalu. Lima tahun sudah ia terkungkung dalam bongkahan masa lalunya.
Lima tahun dalam roman wajah kumal tak terawat. Menjijikkan. Lihat saja,
kutu-kutu dari rambutnya berlompatan menghinggapiku. Ah, tapi biarlah. Saat
terik matahari membakar tubuh dan angin enggan menyapa, dia selalu ada. Saat
angin malam mengoyak ragaku dan rembulan tak mampu menghangatkan, dia tetap
setia. Hanya dia, teman yang menemaniku saat kepanasan dan kedinginan.
“Hahahaha,
bangku pintarku sayang. Aku sayang sekali sama kamu. Kamu tahu kenapa aku
memanggilmu sayang? Hahhaaha..hihihi…
karena orang yang selalu aku panggil ‘sayang’ telah pergi. Pergi bersama masa
lalunya. Hihihihi… dan sekarang akulah masa lalunya. Aku lah masa lalunya! Hahahhaha…”
Kasihan
sekali wanita itu. Masih membekas wajah
ayunya lima tahu lalu. Saat eyeshadow dan
mascara masih mempertajam matanya
yang berbinar. Binar yang kini telah lebam terenggut kantung mata hitam dan
daki tebal. Blush on dan lipstick merah jambu yang dulu selalu memoles senyum sumringahnya,
kini tinggal kenangan tak berbekas. Rambut yang tersanggul rapih, high heel 10 cm, stocking hitam transparan, rok di atas lutut, kemeja tersetrika
rapih dan nametag dari Bank tempat ia
bekerja, sungguh tak bisa lekang dalam bayangan wajahnya. Sungguh teramat sulit
dipercaya, wanita cantik itu dia, wanita gila itu.
******
Lima
tahun berlalu mengelibatkan sejuta kenangan yang tak pernah terjelaskan. Kata-kata
yang tak pernah dimengerti. Sajak-sajak romantis yang kembali terurai hurufnya. Serta kisah yang masih berupa tanda
tanya. Terkadang, drama kehidupan wanita gila itu sungguh membuatku gila.
Lima
tahun, entahlah, ini terlalu lama ataukah sebentar untuk mengerti apa itu hidup dan cinta. Dua kata yang selalu aku dengar dari wanita gila itu. Lima
tahun lalu, saat walikota masih
mempromosikan “Kota Pintar” dalam kampanye Pilkadanya. Hingga ia
terpilih dan janji-janjinya telah terealisasi, pertanyaan itu masih bergelayut.
Masuk
dalam tiga besar kota terpintar dunia versi majalah beken di Amerika, membuat walikota semakin besar kepala saja. Lihat
saja, ia kembali terpilih menjadi walikota untuk kedua kalinya dengan
mudah. Taman alun-alun ini pun semakin
spektakuler dibuatnya. Jam pintar, gapura pintar, robot sampah pintar, sirine
pintar. Mungkin hanya aku, barang bodoh di taman ini. Aku hanya bangku biasa
yang tak bisa melakukan apa-apa. Bahkan menyeka air mata dan meneduhkan wanita
gila itupun aku tak mampu.
Kota
pintar, sebuah sebutan yang terlalu hiperbola. Benar juga kata wanita gila itu.
Apa artinya sebuah euphoria, jika didalamnya tak ada kebahagiaan dan cinta. Ah,
kota sampah. Walikotanya pun tak lebih
dari sampah. Lambat sekali ia merenda serentetan janji yang telah ia rangkai sendiri. Andai sirine tanda bahaya itu lebih cepat terealisasi, mungkin kejadian
malam itu tak pernah terjadi. Malam di mana wanita itu memelukku sembari
berjerambab air mata. Malam dimana ia membawa ratusan undangan pernikahan berwarna
ungu yang bertuliskan nama “ Nadine dan Dirga”. Malam dimana ia tertidur
bersama surat-surat undangan yang berserakan seusai amukkannya pecah. Malam dimana kesuciaannya terenggut
segerombolan lelaki hidung belang yang tengah mabuk. Kesucian yang seharusnya
ia berikan kepada suaminya. Tepat di malam pertamanya tanggal 25 Juni lima
tahun lalu. Tapi tanggal 25 juni lima tahun lalu itu nyatanya tak pernah ada.
Hari itu benar-benar terhapus dari kalender sejarahnya.
“Sekarang
pukul dua puluh tiga.” Suara dari jam
pintar disertai bunyi dentuman sebanyak 23 kali itu mengagetkanku. Jam
pintar yang terpasang di alun-alun kota itu, mampu terdengar hingga ke seluruh
sudut kota. Bunyinya teramat keras. Namun, sekeras apapun itu, takkan mampu
membangunkan wanita gila yang tengah rebah dalam pangkuanku. Biarlah ia
terlelap. Biarlah. Seringai wajah rembulan terlalu bengis untuk ditatapnya.
*****
Rembulan
telah menelungkup di lekuk fajar. Embun mulai meluruh membasahi rerumputan di
bawah kaki-kakiku. Tunggu, wanita gila itu sudah beranjak nampaknya. Ia tengah
asyik mondar-mandir melewati gapura
pintar itu.
“Hahahaha…
bangku pintarku sayang, kamu tahu apa yang gapura itu katakan? Dia bilang ‘
Selamat pagi !’ Hoohhooohoho…hahahaha... kata yang selalu diucapkan lelaki
bajingan itu tiap pagi kepadaku. Mmm, tunggu ! Apakah ini artinya bahwa gapura
itu mencintaiku? Tidak, tidak, tidak ! Dia tak boleh mencintaiku. Cintaku masih
untuk dia. Lelaki itu. Aku yakin, lelaki bajingan itu pasti kembali. Pasti. Hahahhaha.
Iya kan, sayang? Hahahaha.”
Gapura
pintar itu, dia mencari gara-gara lagi.
Orang memanggilnya Gapura Pintar karena
setiap ada yang melewatinya, ia akan mengucapkan : Selamat pagi atau selamat sore atau selamat siang atau selamat malam.
Bahkan, gapura itu mampu menyuarakan quote-quote
keren yang sanggup membangkitkan motivasi pendengarnya. Aku jadi teringat, empat tahun lalu, saat kegilaan
wanita itu belum separah ini. Saat ia memasuki gapura dengan mata sembab dan
bulir-bulir yang belum mengering. Lalu, quote,
“ Masa lalu adalah kenangan, hari ini
adalah kenyataan, masa depan adalah harapan” itu diperdengarkan. Ia lantas menyeka air
mata dan memaksakan lekukan bibirnya. Ironisnya, rangkaian kata yang seharusnya
menjadi obat itu berubah menjadi racun yang semakin memporak-porandakan susunan
syarafnya. Kalimat terakhir itu , ‘masa
depan adalah harapan’, membuatnya
percaya bahwa masa depan bersama lelaki bajingan itu, akan terus dan terus
menjadi harapan yang pasti bisa terwujud.
Ah,
sudahlah lupakan gapura itu. Ia hanya figuran yang tak perlu dibesar-besarkan.
Wanita gila
itu semakin menggila dalam ceruk sendu dunia yang meronta. Bayangkan, dalam
pedih-perih yang memuncak, ia masih mengenal kata harapan. Harapan yang seharusnya telah lama menguap bersama kelakar
lepasnya.. Tak cukupkah kata perpisahan,
sakit hati dan melepaskan,
menghapus kata harapan dari benaknya.
Bukankah selama ini ia telah melupakan apa itu nasabah, kurs, valuta asing,
bunga, debit, kredit dengan teramat mudah. Semudah ia mengucapkan hahaha…hihihi…huhuhu..hohoho. Tapi
kenapa kata harapan tetap saja
membuat angannya terbelalak?
*****
Wanita
gila itu, bersembunyi di balik punggungku. Sesekali tertawa, sesekali menangis.
Terkadang duduk bersila, terlentang, jongkok, ia mengganti-ganti posisinya
setiap menit. Satu hal yang tak pernah berubah, yakni pandangannya. Matanya tak
beranjak melototi sebuah ukiran di belakang punggungku. Ukiran berbingkai
‘love’ yang di dalamnya terpahat nama ‘Nadine dan Dirga’. Aku tentu tidak akan
melupakan senja itu. Saat dimana kau dengan pipih merah merona menganggukkan
kepala dan menerima sekuntum bunga mawar darinya. Di senja itu, mereka memahatku
yang masih terbalut cat merah muda menyala dengan cutter sederhana. Hingga aku kembali telanjang, ukiran itu pun
masih utuh. Sungguh mengharukan.
“Orang
gila! Orang gila !”
Sepasang
balita kembar menggemaskan tiba-tiba datang bertepuk tangan dan menyorakinya,
“Orang gila!” Teriakan-teriakan itu
mengatupi kisah-kisah yang tengah hinggap dalam otaknya.
“Aduh,
Lala, Lili, apa yang kalian lakukan sayang? Sudah papa bilang, jangan
dekat-dekat orang gila itu. Nanti kalian digigit loh. Sini-sini !”
Ah,
laki-laki itu. Laki-laki yang dengan teganya membatalkan pernikahan yang tinggal sebulan lagi
terlaksana. Saat gedung, kue, kebaya, undangan, foto telah dipersiapkan secara sempurna.
Dengan mudahnya ia membatalkan semua itu. Hanya demi wanita masa lalunya.
Wanita yang tiba-tiba kembali menemuinya seusai menamatkan pendidikan di
Perancis. Ya, wanita itu, Ibu dari anak-anak kembarnya.
Aku
jadi teringat, lima tahun lalu. Saat wanita gila itu bersandar di bahunya
sembari menatap lembayung senja. Mereka menuliskan skenario hidup yang ingin
mereka lalui di masa depan. Menikah, punya anak kembar cantik bernama Lala Lili
dan hidup bahagia selamanya. Lihat sekarang, bukankah alurnya terjadi seperti
apa yang telah mereka tulis? Sayangnya, tidak. Kenyataannya, wanita gila itu
bukanlah pemeran utama dari skenario yang telah dibuatnya sendiri. Ia hanya figuran
yang tak penting. Ya, hanya figuran orang gila.
Gara-gara
melihat keluarga kecil ini, aku jadi teringat sesuatu. Sesuatu yang pernah
wanita gila itu ceritakan kepadaku. Aku terisak saat mendengar dan mengingat tragedi
itu. Tragedi dimana seluruh keluarga wanita gila itu mati tragis. Ayah, Ibu,
kakak, adik, nenek, paman, bibi, semuanya mati bersamaan. Mobil keluarga yang
sedang melaju menuju kota ini tiba-tiba masuk jurang. Ah, lagi-lagi gara-gara
laki-laki bajingan itu. Ayahnya kena serangan jantung saat mengemudi. Ia syok
saat putri kesayangannya menelpon sambil tersedu-sedu berkata, “Pernikahan
dibatalkan.”
Dia
kehilangan semua orang yang
dicintainya sesaat setelah kehilangan seseorang
yang dicintainya. Sampai sekarang aku masih tak mengerti, lebih sakit mana
rasanya ditinggal seorang lelaki yang teramat dicintai ataukah semua anggota
keluarga yang teramat dikasihi.
*****
Saat
pandangan mata wanita gila itu tengah menyapu langit, tiba-tiba segerombolan
lelaki bertato dan bertindik datang dari arah belakang. Dengan tanpa basa-basi
mereka menggerayangi tangan wanita gila itu. Tidak, kejadian malam itu tak
boleh terulang! Aku tahu, sia-sia memang mempertahankan kesucian yang tak lagi
pantas disebut kesucian. Tapi salahkan bila mempertahankan harga diri untuk
kedua kalinya? Ah, tapi apa yang harus aku lakukan? Aku hanya bangku bodoh yang
hanya bisa diam dan membisu. Tuhan, ya,
mungkin Dia satu-satunya harapan yang mampu mendengar jeritan sebuah bangku
bodoh.
“Iya
bagus, mundur! Terus mundur! Sedikit lagi, mundur! Mundur!” Aku pun terus
berteriak layaknya komentator bola dalam partai final.
“Iya,
tekan ! tekan ! Berhasil! ”
Akhirnya,
Tuhan berhasil menuntun jemari wanita gila itu. Meski tergopoh, ia menekan
tombol sirinenya dengan tepat.
Sirine
pinter itu mampu mengeluarkan teriakan, “Tolong! Tolong!” sembari memancarkan
sinyal bahaya yang menyala-nyala menembus langit. Canggihnya lagi, sirine ini
langsung terhubung ke kantor polisi terdekat dan mampu menampilkan GPS
lokasinya. Bahkan, sirine ini bisa dinyalakan melalui gadget jika tombolnya
terlampau jauh untuk direngkuh.
Dalam
hitungan menit, polisi datang dengan seragam lengkapnya. Dengan santai, para
preman itu malah berkilah jika wanita gila itu hanya iseng menekan-nekannya.
Tentu saja, polisi-polisi itu lebih mempercayai para preman mabuk ketimbang
seorang wanita gila. Untungnya, wanita itu gila. Jika tidak, mungkin dia sudah didenda lima juta
rupiah karena dituduh telah melanggar Perda penyalahgunaan sirine.
Tanpa perdebatan sengit, kejadian malam itu berlalu
begitu saja. Polisi-polisi itu pergi tanpa tuntutan dan tahanan. Aku
mendengarnya, ketika salah satu dari mereka berucap, ”Masih banyak orang waras
yang mesti diurus. Masih banyak juga orang waras yang bisa diperas. Apa yang
mesti kita harapkan dari orang gila. Hahaha.” Ya, pemikiran yang sangat masuk akal, Pak.
Masuk akal pula jika aku jadi berpikir bahwa makhluk hidup di kota pintar ini
tak lebih pintar dari benda-benda mati disekitarnya. Iya kan?
Para
preman itu pun enggan melanjutkan
aksinya. Dengan sempoyongan mereka berjalan meninggalkan wanita gila itu. Dan
wanita itu mengakhiri semuanya dengan tawa. Seakan tak ada sesuatu apapun yang
tengah terjadi.
*****
Rembulan
telah lenyap, namun mentari tak jua menampakkan wajahnya. Angin datang begitu
kencang. Liukannya mampu menghamburkan dedaunan yang berserakan di udara.
Sehelai demi helai daun menampar wajah wanita gila itu. Wajah yang tengah
mengkerut lirih. Tercekat perih yang tak jua terobati. Ia masih tak bergeming.
Meski mendung telah menjadi gerimis.
Dengan
mata sendu berkaca-kaca ia melepaskan cincin yang melingkar di pangkal jari
manisnya. Cincin pertunangan, satu-satunya barang berharga yang masih ia punya sampai
saat ini. Apapun dan bagaimanapun caranya, ia akan terus menjaga benda itu.
Beberapa kali benda itu hampir berpindah
ke tangan-tangan jahanam. Dengan sekuat tenaga, ia meraung dan
mengambilnya kembali. Tak sia-sia, lima tahun ia mampu mempertahankannya meski dalam
ketidakberdayaan.
Namun,
tiba-tiba cincin itu jatuh terlempar ke belakang tubuhku. Sialnya, tiba-tiba robot pintar berpatroli menyusuri sudut
taman. Ia mendeteksi dan menyedot sampah-sampah kecil yang ada disekelilingnya.
Cincin itupun dengan sigap ia lahap. Sekali tertelan, benda itu takkan bisa
keluar. Benda itu langsung terurai di dalamnya dan keluar menjadi butiran debu.
Wanita
gila itu meronta sambil melempari robot itu dengan batu dan mengatainya
‘gila!’.
Tepat
arah 180 derajat robot itu berhenti, tiba-tiba pandanganku teralihkan kepada
sosok lelaki di depan sana. Lelaki yang tengah berteduh di bawah pohon beringin
sembari melambai-lambaikan tangan menyetop taksi. Naas, tak satu taksi pun
berhenti menanggapinya. Tubuhnya semakin kuyup terguyur hujan yang tak mampu di
tangkis dedaunan yang menaunginya.
Wajah
lelaki itu sesekali menoleh ke depan sesekali menoleh ke belakang. Ia menoleh
ke belakang, mengamati tingkah wanita gila itu sembari tertawa sinis.
Angin
bertiup semakin kencang. Suaranya bergemuruh menembus cakrawala. Tak hanya
dedaunan dan sampah kecil yang berterbangan. Pepohonan dan tiang listrik pun
tumbang satu-persatu. Pohon beringin tempat lelaki itu berteduh pun akhirnya menyerah
pada angin. Batangnya yang besar langsung menimpa tubuh lelaki kurus itu.
Nyawanya langsung melayang, terbang bersama angin yang telah merenggutnya.
*****
Beberapa
jam kemudian, Jenazah lelaki itu pun segera dievakuasi. Para petugas, warga dan
reporter dari berbagai media datang mengerumuninya. Sementara, wanita gila itu lompat-lompat
kegirangan. Ia mengajak berbicara semua benda-benda di sekitarnya. “Selamat,
sekarang aku mau mengakui kota ini kota pintar. Eiitts, jangan ge-er, ini bukan gara-gara kau yang
pintar. Kamu tahu kenapa? Ya, karena pohon beringin tumbang itu. Dia telah
membunuh lelaki itu. Dia pintar, tahu bagaimana caranya membalas dan mengakhiri
sakit hati.” Kalimat itu diucapnya berulang-ulang dengan persis.
Saat
bersamaan, di berbagai sudut kota, petugas diterjunkan untuk membersihkan
puing-puing, sampah dan pohon yang berserakan. Tak terkecuali taman alun-alun
ini. Setali tiga uang, petugas pun membersihkan sampah masyarakat di sekitarnya.
Wajar saja, besok ada acara pelantikan pak walikota yang baru terpilih untuk
kedua kalinya. Wanita gila itu, tentu dianggap sampah yang harus dijauhkan.
Para petugas menarik tangannya dengan paksa. Ia berontak. Sia-sia, tangan
petugas lebih cekatan dan kuat darinya.
Sebelum pergi, wanita gila itu
menendangku dengan keras sambil berkata, “Mampus kau!” Saking kerasnya, kaki sebelah kananku patah. Dari kaki, kerapuhanku
merambat ke atas. Dengan mudah, pembatas sebelah kananku ikut patah.
Saat punggung wanita gila itu pergi
menjauh, tiba-tiba sebuah surat undangan yang masih terbungkus plastik keluar
dari sela-sela antara kaki dan pembatas kananku. Undangan yang telah terselip
lima tahun lalu dengan nama ‘Nadine dan Dirga’.
Sayang sekali, wanita gila itu tak
sempat melihatnya. Ia sudah diangkut ke dalam mobil. Selang beberapa menit, aku
pun turut diangkut petugas. Aku dimasukkan ke sebuah truk sampah. Aku memang
sudah menjadi puing-puing kayu yang tak perguna. Aku sampah.
Selamat
tinggal wanita gila. Terima kasih atas segala pelajarannya. Sekarang aku tahu
apa itu hidup dan cinta. Sekarang aku
mengerti, dua hal itu sepenuhnya milik dan untuk Dia, bukan dia. Sambil
memandangi langit aku seakan bisa melihat-Nya. Meski bukan dengan mata
telanjang. Aku melihat-Nya dengan sesuatu yang bisa dirasakan. Mozaik kisah wanita
gila itu adalah caraku melihat-Nya. Keindahan dan keteraturan langit juga
menjadi caraku melihat-Nya.
Aku
mengerti, mengapa takdirku adalah bangku taman. Tiada yang sia-sia. Sungguh
beruntung, aku bukan manusia. Aku tak perlu merasakan patah hati yang teramat
memilukan itu. Terima kasih wanita gila.
Kecup manis dari jauh untukmu. Bangku pintar kesayanganmu.
Penulis : Porpora
Sumber gambar : aishana08.deviantart.com
0 komentar:
Posting Komentar