Mata kecokelatan nampak tak secokelat
biasanya. Merah pudar menyatu dengan putih yang kehilangan beningnya. Mataku yang berbinar kini tengah senyap. Air
mata yang jatuh meluruh nampak tak terlihat. Tertutup guyuran air dari gayung
biru tua yang retak. Tak ada lagi lagu All
of me yang biasa kunyanyikan dengan lantang di kamar mandi. Vibra suara
yang terdengar dari jerit tangis yang aku luapkan nampak seindah suara Celline
Dion dalam lagu My Heart Will Go On.
"Tuhan, apa gunanya aku hidup? Aku anak tidak berguna. Sampah. Harapan, harapan,
harapan terus yang aku janjikan. Lama-lama ayah bisa terbunuh oleh
harapan-harapan palsu itu. " Aku berdialog dengan cermin dihadapanku.
Bayangan diri dalam cermin persegi
yang basah berembun itu tak ayal menjadi pelampiasan amarahku. Aku melihat
wajah orang paling tidak berguna di dunia ini. Ingin rasanya aku bunuh wanita
sialan itu tanpa ampun. Aku mutilasi. Aku bakar. Aku hanyutkan abunya ke dalam
air comberan yang menjijikkan. Wanita itu dan air comberan sama-sama
menjijikkan, bukan? “ Ah, tapi wanita itu AKU !”
" Dua tahun sudah aku diwisuda, tapi aku
masih pengangguran. Aku mau kerja. Tuhan, Kau tidak tuli kan? Aku mau diterima kerja.
Cuma itu." Lagi-lagi aku berdialog seorang diri.
Suara ketukan pintu sayup terdengar
berpacu dengan suara tangisanku yang mengeras. Aku pikir itu hanya ilusi. Tapi
suara itu semakin keras. Dorongan tangan dan tendangan kaki pada pintu itu
turut menggetarkan cermin layaknya gempa bumi .
" Eni ! Buka pintunya! Ada
telfon dari ketua HRD Unigama."
"Unigama?"
"Aduh En, itu tempat bimbel anaknya Ibu Ratna. Siapa tahu
kamu keterima kerja di sana."
Aku kaget. Sikat gigi yang baru saja
aku oleskan odol itu terlempar ke dalam bak mandi. Dengan sigap kubalut tubuh
dengan handuk bergambar Barbie warna merah muda.Ah, tiba-tiba aku lihat air
membentuk lekukan senyum yang indah. Bahkan, retakan cermin seolah nampak
seperti bulan sabit yang sumringah. Seakan semesta mendukung dan berkata,
“Selamat Eni.”
Pintu seng yang sulit terbuka pun aku dorong
sekuat tenaga. Dengan tangan basah aku rebut handphone touchscreen dari genggaman ayah.
"Halo, ini Eni. Jadi kapan saya
bisa mulai bekerja, Pak?"
Dengan penuh antusias aku berkoar
panjang lebar tanpa memberinya kesempatan bicara. Tetapi, OH. Akhirnya, hanya
kata 'oh' yang bisa aku katakan. Mungkin sesingkat itu pula kata yang bisa aku
jelaskan kepada ayah.
"Kamu keterima kerja kan, Nak?
Kamu hebat, Nak. Kamu memang hebat!"
"Belum, Yah. Dia cuma bilang
kalau KTP aku ketinggalan. "
"Oh."
Lagi-lagi kata 'oh' cukup menjadi
penutup sebuah harapan. Aku lihat harapan itu sudah terberai dari mata ayah
yang sendu berkaca-kaca. Tak habis pikir, aku kembali ditolak kerja.
Bisa-bisanya mereka bilang aku kurang gaul dan menarik, hanya untuk menjadi guru
bimbel murahan. Mereka sudah menghina
lulusan terbaik dari universitas terbaik. Kurang ajar.
"Suu...."
Belum usai kata itu ayah ucapkan, ia kembali lemas tak
berdaya. Tiba-tiba, lima suap nasi yang baru ia cerna kembali termuntahkan.
"Ayah ! Ayah ! Ayah
kenapa?"
Belum sempat tanda tanyaku terjawab.
Ia tersungkur. Kepalanya jatuh di atas ember cucian. Gelembung-gelembung busa
yang kembang kepis menutupi mukanya yang keriput. Tak ada yang bisa aku lakukan
selain berteriak. Jangankan mengangkat tubuh orang lain, menggerakkan seujung
jemari pun serasa sulit. Aku lemas. Tubuh seakan mematung terhentikan waktu
yang tak siap menerima kenyataan. Berharap ada yang datang menolong. Segera.
#########
Dan lagi. Bau rumah sakit harus aku
cium tanpa henti. Kasihan ayah. Semua takkan terjadi andai aku bisa
menanggalkan predikat pengangguran ini. Terkadang, aku menyesal, kenapa harus
terlahir menjadi seorang sarjana.
Buat apa membuang masa mudaku dengan kerja keras tanpa makna. Kerja keras yang
tak ada harganya. Lebih baik aku nikah muda, hura-hura, nongkrong di diskotik,
bahkan narkoba, jika dengan itu aku lebih dihargai. Buat apa belajar
mati-matian mengejar cumlaude jika
kerja keras tak ada artinya di mata orang lain. Bahkan dimata diri sendiri.
Lala, teman kuliah, yang IPK nya hanya dua koma sudah jadi PNS di SMA ku. Aku
ingin seperti dia tapi tak mampu. Tidak ada uang seratus juta untuk menebus
pekerjaan itu. Andai ada uang pun, aku takkan melakukan kehinaan itu Ini masalah
prinsip dan harga diri. Aku lelah. Rasanya hidup tapi seperti mati. Entah
sampai dibatas mana prinsip ini aku perjuangkan.
Getaran di saku baju membangunkan
pikiran yang tengah terberai. 'Selamat' kata pertama yang terlihat oleh mata
saat membuka pesan singkat dari Cindy, sahabatku. Laksana secercah cahaya dalam
gua yang gelap gulita. Aku menyebutnya harapan. Rangkaian kata sederhana itu
tak bisa lagi disebut sederhana. Aku tak tahu ini maya ataukah nyata. Tapi ini
harapan.
Kubuka website resmi pengumuman CPNS untuk sekedar meyakinkan. Peluh yang
menetes membutakan ingatan sesaat. Nama diri yang sudah disandang 25 tahun pun
tak kuasa aku ketikkan. Huruf demi huruf, angka demi angka aku rangkai dengan
tergopoh.
"Yeah, akhirnya, bisa log in juga!" Teriakku girang.
Sesaat sebelum raga ini kembali mematung. Tak sanggup mata ini menatap lagi
kegagalan.Hanya dalam jeda sedetik, kubuka dan kututup mataku bergantian. Aku
belum siap. Tapi aku harus siap.
Belum sepenuhnya kelopak terbuka, kalimat itu
sudah jelas terlihat, "Selamat Anda lolos seleksi CPNS". Ini bukan
mimpi. Bukan.
“Aku lolos! Aku lolos !”
Belum usai euforia ini terlampiaskan,
tepukkan tangan di bahu kiri sejenak menghentikan.
"Ma..maaf, Kak. Kakak kenapa?"
"Ya ampun, Vino. Aku kira hantu.
Kamu ini sudah membuatku kaget setengah mati.Aku cubit nih, aku cubit pipi
kamu. Heeh, biar tahu rasa, dasar gajah bengkak ! Hahahaha.”
“Maaf.”
“Eh, kamu kenapa? Mata kamu sembab.
Tatapan kamu kosong. Lekukan senyum kamu terlampau dipaksakan. Hidung kamu
kembang kempis. Mmm, habis nangis ya? Patah
hati lagi ya? Hahaha, gajah bengkak menghayal punya pacar Barbie. Ya begini nih
jadinya. Duh, kasihan sekali kau ini. Padahal aku punya kabar gembira. Sangat
gembira. "
“Ayah, Kak.”
“Ayah? Ayah kenapa?”
“Ayah…”
“Ayah kenapa?”
“Ayah kenapa?”
“Anu, Ayah…”
“Ayah kenapa? Dia di kamar baik-baik
saja kan? Jawab, Gajah !”
" Ayah terkena gagal ginjal, Kak."
Kalimat terakhir itu menghilangkan
arti rasa bahagia. Bahkan rasa yang aku rasakan sedetik yang lalu.
"Ayah tidak mungkin terkena
gagal ginjal. Tidak. Ayah baik-baik saja. Dokternya salah. Dokternya pasti
dokter bodoh yang dulunya membeli bangku kuliah dengan uang. Bukan otak dan
kerja keras. Jadi, kau jangan percaya sama dia. Gelar bisa menipu."
"Kakak salah. Dokternya itu
keponakan Pak RT yang kuliah dengan uang beasiswa. Dia anak pintar. Kita harus
terima kenyataan itu. Ini takdir. Takdir yang mungkin sebentar lagi memisahkan
kepala kita dengan pundak ayah. Entahlah,kalau ayah pergi, bahu siapa lagi yang
bisa menenangkan.”
“Kamu ini ngomong apa? Dia akan
baik-baik saja. Ayah pasti sembuh. Dia akan bertahan sampai kita benar-benar
sukses.”
“ Tapi, penyakit ayah sudah kronis.
Andai ginjal ayah masih dua, mungkin keadaannya
takkan seburuk ini."
"Maksud kamu? Ginjal ayah tinggal
satu, kamu bercanda? Ini nggak lucu. Aku
lagi nggak mau bercanda. Serius. "
"Ini serius. Mungkin ini menyakitkan,
tapi aku harus jujur. Ya, sebenarnya, Ayah sudah menjual satu ginjalnya demi
kakak."
"Demi aku?"
"Ya, untuk membayar suap agar
kakak lolos seleksi CPNS. "
Kalimat itu benar-benar mengoyakku. Bukan
lagi meluruhkan makna kebahagiaan sedetik yang lalu. Tapi seumur hidup. Ini
hidup. Tapi terkadang tak selamanya hidup bisa kita sebut hidup. Aku mati.
sumber gambar : theglobejournal.com
0 komentar:
Posting Komentar