“Aku cemburu ! “
teriakku lantang. Tapi, si kaca mata tebal tak berdosa itu tetap saja asyik
dengan belahan jiwa barunya.
“hey, kamu! Ya,kamu !
Kenapa kamu diam saja? Dasar tuli ! Kamu nggak denger, ‘ aku cemburu’ !
Sekali lagi ya, dengar baik-baik, ‘aku cemburu ‘ ! Aku cemburu ! Aku
cemburu !“ berontakku lagi. Tapi, lagi-lagi dia tetap sibuk bercengkrama dengan
kekasih barunya itu.
Empat tahun lalu?
Aku sudah lupa, seberapa lamakah empat tahun lalu itu? Atau seberapa
sebentarkah itu? Ah, sudahlah , jangan ingatkan aku pada masa lalu . Ah,tapi
aku terlalu bodoh. Sangat bodoh. Rasanya aku ingin mati ! Hanya
karena ‘masa lalu’ aku hampir mati. Hidup dalam masa penantian yang
sia-sia itu ibarat mati tanpa masa peradilan. Masuk surga tidak , neraka
pun enggan. Detik ini benar-benar titik terjenuh yang siap meledak. Aku lelah
dengan semua ini. Aku ingin mati !
Kata orang, cinta
sejati itu tak mesti memiliki. Kata orang, cinta sejati itu bukan berarti
harus bersatu dengan orang yang kita cintai. Tapi, cinta sejati itu memastikan
orang yang kita cintai terlihat bahagia. Meski bukan dengan kita. Ya, kata
orang. Orang? Memangnya orang-orang yang mengeluarkan kalimat-kalimat
gila itu pernah merasakan apa yang sedang aku rasakan sekarang? Tidak
kan?
Entahlah, aku harus
tertawa atau menangis, melihat si kacamata tebal itu tertawa lepas. Kalau
menurut teori ‘cinta sejati’ sih aku harusnya bahagia. Bayangkan, si kacamata
tebal yang mukanya selalu ditekuk itu bisa tertawa terpingkal-pingkal. Sesuatu
yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Empat tahun lalu, dia mau bersamaku
selama 24 jam non-stop. Tapi, tak pernah sekali pun aku melihat dia
tersenyum.Tapi, sekarang dia itu bukan hanya bisa tersenyum. Dia tertawa.
Bayangkan !
Aku tahu, dia bersamaku
hanya karena sebuah keterpaksaan. Aku hanya pelarian. Aku hanya diperalat. Aku
hanya alat yang ia manfaatkan demi ambisi-ambisi gilanya itu. Iya, aku tahu.
Sudahlah, jangan berpura-pura lagi ! Aku tak pernah melihat ketulusan dari
matanya. Tapi, sekarang, ketulusan itu aku lihat saat dia bukan lagi denganku.
Sepertinya, dia benar-benar tulus mencintai kekasih barunya itu. Sekali lagi,
aku mau teriak dan bilang ,”Aku cemburu !”
“Dengar, ini terakhir
kalinya aku bicara. Kaca mata tebal, lihat aku ! Dasar buaya darat ! Aku tahu,
dia lebih gaul. Aku memang terlalu membosankan dan rumit buatmu. Aku banyak
aturan. Aku banyak menuntut. Tapi, kenapa dulu kamu memberi semua harapan itu?
Kenapa dulu kamu mau menghabiskan setiap waktu denganku? Bahkan, kamu
lupa makan, lupa tidur, lupa ibadah hanya karena enggan berpisah denganku.
Walau aku tahu, itu bukan sebuah ketulusan. Tapi, kebersamaan kita itu
nyata. Kamu lupa, siapa yang bisa mengantarkan kamu ke universitas yang kamu
inginkan sekarang? Pacar barumu itu? Hahaha, bukan kan? Dasar pemberi harapan
palsu !” kataku panjang lebar.
“teng…teng…teng.” Bunyi
lonceng jam dinding itu menambah kekesalan dihatiku yang tengah gaduh.
“Berisik !”
“Jam dinding
bodoh! Kenapa kamu masih mau bersuara? Kenapa kamu masih mau berputar? Lihat,
si kacamata tuli itu tak pernah peduli dengan suara maupun waktu yang kau
tunjukkan! Selama kekasih barunya itu ada, dia tetap akan lupa waktu. Kamu
nggak tuli kan, Bodoh? Kalau kamu bena–benar nggak tuli, jawab aku sekarang !
Jawab! Heh, tapi sampai sekarang kamu masih saja berputar? Ok, sekarang
aku yakin, ternyata kamu tuli.” Celotehku sambil sesekali mengintip si
kacamata dengan pacar barunya.
“Kenapa semua bisu?
Kenapa semua tuli? Aku ingin mendengar suara lain, selain suara kelakar si
kacamata jutek itu.” Ratapku lirih.
Ya, Tuhan. Kecemburuan
membuat logikaku benar-benar mati. Hahaha, aku lupa.Kenapa aku bisa benar-benar
lupa? Aku bukan manusia seperti si kacamata itu. Aku hanyalah buku
fisika yang sudah tak dibutuhkan lagi. Hidupku hanya berakhir di rak berdebu
ini. Menjijikkan, berani-beraninya debu-debu liar itu menyentuh tubuhku yang
mulus ! Tapi, aku tak sanggup menerima kenyataan. Kenapa si kacamata itu lebih
suka menghabiskan waktunya dengan ‘novel komedi’ itu? Aku tahu, dia lebih lucu,
lebih santai dan lebih gaul dari aku. Tapi, apakah ini alasan dia benar-benar
enggan menyapaku lagi selama empat tahun?
Tiba-tiba, si kacamata
itu membanting ‘novel’ itu dengan begitu kejinya. “ha-ha-ha” kata terakhir yang
terucap dari bibir merah muda tipis si Kacamata untuk si Novel. Kemudian, dia
meninggalkan dan membiarkannya terjatuh di lantai yang berdebu. “ha-ha-ha” kali
ini aku persembahkan tawa jahatku untuk si Novel sialan itu. Rasakan ! Kamu
tahu kan rasanya dicampakkan? Mungkin, sekarang si kaca mata itu sudah
bosan dan melirik kekasih baru. Dasar, buaya darat. Seenaknya saja memainkan
perasaan orang. Orang? Oh ya lupa, kita bukan manusia. Kita benda mati. Ya,
tapi apakah karena benda mati dia bisa datang dan pergi seenaknya saja? Ah,
dasar manusia.
Si kacamata itu
tiba-tiba ada di hadapanku. Ah, dunia seakan berhenti berputar. Hatiku
tiba-tiba bergetar hebat. Sangat hebat. Sampai aku lupa apa itu artinya
kesendirian selama empat tahun? Aku pun lupa tentang semua amarahku beberapa
menit yang lalu. Mungkinkah dia mau kembali kepadaku? Ah, sudahlah, jangan
terlalu berharap.
“Buku Fisika ajaib
,sudah empat tahun aku tak pernah menyentuhnya lagi.Empat tahun lalu, buku ini
mengantarkan aku ke jurusan Fisika di Universitas ternama ini. Tak
terasa, empat tahun sudah aku berkuliah di kampus ini. Mmm, gara-gara terlalu
lama sampai aku lupa semua teori jitunya. Pokoknya aku harus berubah, sebentar
lagi ujian. Aku harus membuka dan mempelajarinya lagi. Lupakan dulu yang
namanya novel, cerpen, komik. Aku harus lulus !” kata si kacamata itu sambil
membelai tubuhku.
Tubuhku bergetar hebat,
lembaran-lembaranku yang kaku tiba-tiba bergetar. Tersibak satu demi satu
seperti tertiup angin. Apalah ini, kenapa aku tak juga sadar.Aku ini bukan
manusia. Aku hanyalah buku Fisika yang membosankan. Aku ada bukan untuk
didengar aku hanya bisa mendengar. Aku ada bukan untuk membaca tapi untuk
dibaca. Tapi cinta membuat aku ingin didengar dan dibaca. Ah, tapi ini
mustahil. Ah, tapi ya sudahlah. Yang penting dia bisa mengerti apa yang ada di
dalam diriku. Semua teori dan penjelasanku. Meski yang dia mengerti itu bukan
perasanku. Terlalu rumit memang untuk bisa mengerti perasaanku yang lebih rumit
dari teori Fisika. Butuh seribu sudut pandang untuk mentelaahnya.
Aku tak cemburu
bila dia bersama yang lain. Tapi aku cemburu bila dia benar-benar lupa
denganku. Apalagi lupa dengan semua teori yang pernah aku ajarkan. Aku nggak
mau semua kebersamaan kita itu sia-sia.
“Busyet, ini buku kaya
cinta aja dah. Jadi yang pertama dan yang terakhir dalam perjalanku di
Universitas ini. Ya, kaya cinta, yang paling berkesan itu cinta pertama dan
terakhir. Halah,mikir apasih aku ini. Hahaha, belum ujian aja aku sudah gila.
Gimana nanti?” kata si kacamata itu dengan pelan.
“Muah..” kecupan dari
bibir mungil si kacamata itu membuatku bergidik dan seakan mengakhiri
perpisahan kami selama empat tahun itu.
Sumber Gambar :
mahmudbasuki.com
0 komentar:
Posting Komentar