Seekor
Jalak tua mengudara tanpa tujuan. Mengitari setiap
puing-puing kenangan yang membangkai. Batang-batang yang telah terpotong, daun
mengering dan tanah yang semakin mencekung. Ia sedang berandai tentang segala hal.
Andai waktu dapat diputar, andai semua dapat kembali, dan andai dia Tuhan. Sayangnya, ia bukan Tuhan. Menitihkan
air mata, satu-satunya cara untuk meremas-remas
ilusinya. Betapa berat meratapi ketiadaan yang sangat indah. Masih jelas
terbayang, sesuatu yang dulu menjulang kini telah hancur menciut. Rata.
Dahulu jalanan ditata rapi dengan batu di sisi kanan kirinya.
Lihat, sekarang hanyalah tanah kering bercorak
ban mobil truk yang menyerupai motif mega mendung, menancap sedalam 25 cm. Bahkan, berubah menjadi lumpur di musim
penghujan. Jalak kehilangan riak air yang mengalir dari telaga di atas bukit.
Tidak ada lagi wangi semak perdu yang dihiasi bunga-bunga kecil. Gemuruh
mesin-mesin pabrik dan kendaraan seakan meredam suara cicitan burung-burung
hutan, termasuk Jalak.
Ia
terus saja meratap. Suara tangisan sahabatnya, Batu Tua, memekikkan telinga
sampai menembus hati. Hampir saja ia
menabrak pohon pinus. Sehelai sayapnya patah. Jatuh ke tanah setelah
terombang-ambing sekian menit. Warna hitamnya pudar, tersamarkan abu kapur yang
berserakan di udara.
Sahabat Jalak itu, bukan batu biasa. Batu itu dianggap
keramat bagi warga sekitar. Apalagi, di dekat batuan ini terdapat makam keramat. Berbeda, batu keramat ini berwarna hitam
kontras dengan batuan sekitar yang berwarna putih. Sekilas dia seperti batu beku andesit atau basalt yang banyak
ditemukan di daerah gunung api. Jalak pun merasa aneh, karena batuan
disekitarnya merupakan batuan sedimen. Setelah mendengar cerita si batu, Jalak
akhirnya mengerti. Ternyata dia hasil kegiatan Gunung Ciremai yang letaknya
sangat dekat dengan mereka. Kekuatan letusan yang besar mengantarkan batuan ini sampai kedalam hidupnya.
“Kenapa
kau menangis, sahabatku?” Tanya burung Jalak.
“
Hidupku tidak akan lama lagi. Opera kehidupanku akan berakhir. Gunung kapur
akan segera tenggelam, dan dataran kapur akan segera terbit.” Jawab batu.
“Tak ada yang perlu ditangisi. Kita takkan
bisa hidup selamanya. Bukankah takdir memang semenyakitkan itu?”
“Ya
aku tahu. Masalahnya, disisa hidupku, kenapa rumahku semakin hancur ? Yang
lebih menyakitkan, aku kehilangan satu warna di dunia.”
“Apa
itu, sahabatku?”
“Hijau.”
Ketika
mendengar kata hijau, Jalak langsung lemas. Ia terbang kecil, jatuh tepat di
atas tubuh batu. Memeluk erat. Tanpa sadar, tetes demi tetes air matanya jatuh
membasahi si batu.
“Kenapa
kau ikut menangis, Jalak?”
“Aku
merasakan kegetiran yang sama sepertimu.”
Mereka
bersahabat sejak lama. Bermula dari kejadian konyol. Saat Jalak belajar terbang
untuk pertama kalinya. Dia sembrono, jatuh tersungkur di atas badan si batu. Sejak
itu, si Jalak tak pernah absen mengunjungi batu. Menjadi saksi tentang
ruang-ruang yang semakin terjarah. Tentang hidup yang entah masih pantas
ataukah tidak disebut hidup oleh mereka.
Tanpa
sadar, Jalak terlelap di pangkuan batu. Tak peduli meski tak seteduh dulu.
Dimana dedaunan dari berbagai pohon saling tumpang tindih menaungi si batu.
Suara gemericik air yang meninabobokkan sudah lenyap sejak sepuluh tahun silam.
Sayangnya, semua berubah. Bukan lagi gemuruh
petir yang bisa membangunkannya. Hujan telah lenyap sejak delapan bulan yang
lalu. Kemarau masih tak memberi isyarat apapun untuk berhenti. Semua berubah. Hanya
Suara deru geram mesin-mesin kendaraan pencetak uang yang mampu membangunkan.
Ia terperanjat. Terperosok dari pangkuan batu. Lupa akan fungsi sayapnya yang
bisa dikepakkan.
Batu
refleks tertawa. Sementara Jalak kembali mengepakkan sayap dan terbang satu
meter di atas Batu.
“Batu,
sepertinya aku harus pergi. Aku ingin memantau tingkah makhluk-makhluk serakah
itu.”
Lalu
Jalak melesat ke arah tenggara. Mendekati suara kebisingan.
*****
Di
tempat lain, seorang anak lelaki lima tahun duduk termenung dipelataran
rumahnya.
Matanya menatap
bergantian. Sesekali menunduk ke buku gambar yang digenggamnya, sesekali
melotot lurus kearah depan pandangannya.
Dengan jalan mengesot sebanyak tiga
langkah, ia menarik sebuah selendang. Selendang yang terikat di pinggang
seorang wanita yang sedang menari luwes menggunakan topeng berwarna merah muda.
Topeng itu biasa disebut topeng Rumyang,
menggambarkan kehidupan remaja pada akil baligh. Tentu, hal ini sangat sesuai
dengan kehidupan wanita itu yang sesungguhnya.
Ya,
perempuan itu adalah kakaknya. Yayu, begitu ia disapa adiknya. Yayu bukanlah
nama aslinya. Hanya panggilan umum yang biasa digunakan untuk memanggil seorang
wanita yang lebih tua.
“Yu,
kenapa gambar gunung dari Ibu Guru sama
yang aku lihat didepan berbeda? Ini yang benar yang mana jeh, Yu?”
“Beda apanya sih, Cung?”
“Kata Bu Guru, gunung itu tinggi
terus ujungnya lancip. Kenapa gunung yang ada di depan kita kok rata ya, Yu?”
Perempuan itu menjatuhkan topeng
yang tengah digenggamnya. Ia termenung sejenak. Hingga tubuhnya merosot.
Terduduk perlahan di samping adiknya.
“Dulu,
gunung kapur di daerah kita itu tinggi sekali. Sejak ada pabrik semen, semuanya
berubah. Setiap hari batunya diangkut, tanahnya dikeruk, pohonnya ditebang. Ya
begitulah jadinya.”
“Tapi kalian butuh rumah, sekolah, rumah
sakit, mall, stasiun. Semuanya itu butuh semen. Tanpa semen, kalian kembali ke
jaman purba saja sana.” Seorang lelaki gemuk berkumis tebal menyela dengan
suara lantang.
“Tapi Ma, nggak bisa lebih bijak
lagi tah? Kita memang butuh rumah,
tapi kita juga butuh alam.”
Mama, begitu lelaki itu biasa
dipanggil. Disana, itu bukan panggilan untuk seorang ibu. Ibu mereka biasa
dipanggil Mimi. Ia sudah tiada sejak tiga tahun lalu, terkena kanker paru-paru.
“Ingat, kalian makan
juga dari hasil seorang supir angkut batu, tanah, bahkan semen. Tanpa semen, kalian
pikir bisa makan?”
“Tapi Ma…”
Seketika perhatian mereka teralihkan. Di depan mereka
bergerombol orang sambil mendendangkan lagu-lagu khas Jawa dan bahasa daerah
mereka. Orang-orang itu tengah melakukan arak-arakan untuk merayakan ulang
tahun anak kecil. Awalnya, arak-arakan itu dimulai dari rumah anak yang
berulang tahun, lalu berangkat menuju tengah desa. Disana ada sebuah pohon
beringin besar, mereka mengelilingi pohon itu sebanyak tiga kali. Setelah
meletakkan sesaji, arak-arakan ini berlanjut
dan berakhir kembali di depan rumah anak tadi.
Dengan bahasa mata, kedua kakak beradik itu berdiri, saling
bergandengan, dan mengekor rombongan di baris terakhir. Sementara Ayah mereka
hanya tersenyum dan melambaikan tangan member isyarat.
***
Jalak terus saja menangis. Ia tak tahu lagi harus berapa lama
terdiam. Menahan gejolak, tidak melakukan apapun, seperti racun belerang yang
bisa membunuhnya perlahan.
Dengan mata kepalanya ia melihat
mobil-mobil besar itu terus saja mengeruk bumi tanpa ampun. Mengeruk
gundukan menjadi rata. Mengubah tanah rata menjadi cekungan. Batu-batu besar
pun terus diangkut dengan alat-alat berat. Dilihatnya pula, para mandor tertawa
sambil berkaca pinggang. Sementara para pegawai berpakaian penuh debu dan muka
dekil terus saja berlalu-lalang. Peluh mereka menetes, berbaur dengan daki yang
membuat bulir-bulir air di pipi terlihat
menghitam.
Jalak terbang ke bawah. Berkeliling tepat di atas
pegawai-pegawai itu.Sesekali kaki Jalak membelai rambut-rambut mereka. Wajah
mereka mendongak dengan tangan menangkis ke atas. Jalak tidak menyerah, terus
saja mengusik.
“Woi. Ini burung jadi-jadian. Hati-hati, titisan Nyi Mas Gandasari.” Kata salah satu pegawai
itu.
“Ngawur kamu ini, Ang. “ kata yang lain, menyela.
“Sudah jangan hiraukan. Kerja, kerja dan kerja saja lah yang
benar. Tak usah bergosip yang tidak-tidak. “ Kata mandor melerai.
Mereka melempari Jalak dengan batu-batu kecil. Bahkan, sebuah
ketapel siap dilesatkan ke arah Jalak. Jalak pun terbang semakin tinggi. Pergi menjauh. Ia
kembali kepelukan batu dan menceritakan semuanya. Esoknya kembali mengganggu
manusia-manusia itu lagi, lalu senja ia kembali melaporkan ke batu lagi. Terus
saja kisah itu berulang tiada henti.
“Aku menyerah, Batu.”
“Untuk Dunia yang begitu megah, dan alam yang sangat indah ini,
kamu menyerah?”
“Aku tak semegah dunia, dan ragaku tak sekeras dirimu. Aku lemah
dan kecil.”
“Aku tahu, tapi aku jauh lebih lemah. Andai aku dirimu. Bisa
terbang, punya sayap, mencengkeram, dan bersiul. Aku akan berjuang
habis-habisan demi dunia ini.”
“Tapi kau tidak mngerti. Aku burung, mereka manusia.”
“Tidak kah kau berjuang sekali lagi?”
“Tidak! Aku ingin hidup tenang.”
“Dengan melihat segala kerusakan ini, kamu berpikir hidupmu akan
tenang?”
“Setidaknya aku tidak kena masalah. Biar waktu yang menyabut
nyawaku, bukan mereka.”
“Baiklah, kalau kau menyerah untuk mencegah manusia itu
menerbitkan dataran. Aku mohon, jangan tenggelamkan harapanku yang lain.”
“Harapanmu yang lain?”
“Lihatlah sejenak, Jalak.
Berbalik badanlah. Tidakkah kau melihat ada sesuatu yang berbeda. Tidak kah kau
kehilangan suara-suara yang selalu mengalun di setiap perbincangan kita. Lihat Jalak,
sumber air panas di belakangku sudah mengering. Aku mencintainya. Aku mau dia
kembali. Hanya hati emas manusialah yang bisa mengembalikannya.”
“Tapi bagaimana cara kita mencari hati itu, sedang kita tahu
bagaimana hati manusia sekarang?”
“Diantara milyaran yang hitam, pasti masih ada satu yang emas.
Aku mohon, sebelum dataran kapur terbit, kau harus menemukannya.”
“Bagaimana caraku mengetahui kalau seseorang itu berhati emas?”
“Percayalah pada Tuhan, Dia akan selalu punya cara untuk
menuntunmu.”
Kemudian
pergilah Jalak. Ia menyusuri setiap sudut kota. Mencari dan mendekati orang
yang disinyalir memiliki hati emas. Ia mencoba mendekati seorang pejabat yang
sangat dermawan dan dekat dengan rakyat. Ternyata, ia hanya bersikap bijak jika
ada wartawan dan kamera. Di luar itu, ia korupsi besar-besaran. Iapun mengurungkan niatnya. Langkahnya lalu tertuju
pada seorang alim ulama yang sangat bersahaja. Ternyata ia seorang perenggut
mahkota kesucian puluhan santrinya sendiri. Seorang polisi tegas, ternyata
penerima suap. Seorang selebriti yang menginspirasi, ternyata menjual diri.
Seorang mahasiswa yang sering berkoar-koar tentang kemanusiaan, ternyata
pembunuh calon anaknya sendiri. Jalak terus saja berputar-putar mencari orang
yang benar-benar berhati emas. Akhirnya ia kembali ke batu, dan untuk kedua
kalinya ia bilang, “menyerah”.
“Tidakkah kau berjuang sekali lagi?
“ Pertanyaan yang sama dilontarkan oleh batu kepada Jalak.
“Kali ini aku benar-benar menyerah.
Aku mau jadi makhluk apatis yang seolah tak tahu apa-apa. Aku lelah. Aku sudah
tua.”
Perdebatan mereka seketika teralihkan. Sesosok bocah kecil
menggeret mobil truk mainan dengan segundukan pasir yang diangkutnya. Ia menumpahkan
pasir itu ke tanah. Diratakan dan dikaisnya tanah itu dengan tangannya sendiri.
Ia terlihat tenang sampai suara bulldozer memekikkan telinganya.
“Sini nak, bersembunyi di
belakangku.” Kata Batu.
Bukannya berdiri di belakang batu,
anak itu malah berdiri gagah di depan sambil merentangkan tangan.
“Ya ampun, Udin ngapain kamu disini? Di sini bahaya, cung,
bahaya! “
“Jangan lindas batu ini, Ma.”
“Bocah cilik ngerti apa, Cung? Tunngu dulu, bagaimana kamu bisa ada di sini?”
“Tadi pagi, aku menyelundup masuk ke belakang mobil truk
Mama. Aku cuma mau mindahin pasir dari
rumah ke atas sini. Aku mau, gunungnya jadi lancip seperti gunung yang
digambarkan Bu Guru.”
Sementara burung Jalak hanya bisa bersembunyi di belakang batu.
Tak begeming sedikitpun.
Ayah Udin akhirnya turun. Menarik tangan anaknya dengan paksa. Dibawanya
Udin naik ke atas Buldozer. Udin terus meraung, tapi tidak diiindahkan. Rekan kerja ayahnya, yang duduk di samping
membantu mengamankan. Di pangkunya si udin dengan cengkeraman tajam.
Buldozer itu berjalan lambat namun pasti. Didorongnya Batu itu
dengan kekuatan super. Hingga tanah menyerah untuk mempertahankan pelukannya.
Bergulinglah batu, menyapu tanah. Udin mnggeliat, digigit tangan orang yang menahannya hingga meronta.
Lebih dari itu, Udin pun loncat dan
terguling. Menyatu bersama batu dan Jalak. Terperosoklah mereka ke sungai yang gersang
tanpa air. Tragisnya, Udin jatuh terlebih dulu, lalu batu menimpa tubuhnya yang
mungil. Terberailah beberapa organ tubuhnya.
Seketika, sumber mata air panas itu memancar. Cepat. Dahsyat. Berwarna
merah, tercampur darah Udin yang masih basah. Di sisa napasnya, Jalak
terlihat tersenyum. Ia berhasil
menunaikan permintaan terakhir si Batu. Sepotong hati yang selama ini dicarinya
ternyata berkilau jelas diantara air yang mengalir dangkal. Hati itu berwarna
emas.
0 komentar:
Posting Komentar