Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 14 Januari 2021

Demi Raga yang Lain

Tubuh ini akhirnya ambruk, merebah lelah pada dinding rumah sakit. Delapan jam menahan haus dan lapar dengan badan terbungkus rapat. Bulir air mulai menetes, membayangkan ratusan wajah itu menjerit dengan napas tersengal. Mata ini mulai menggeriap, tetapi membayangkan keluarga mereka menahan air mata dari kejauhan, aku mencoba berdiri.

Kemudian teringat pada hari itu, saat pulang ke rumah tetapi hanya bisa berdiri dari luar pagar. Lambaian tangan adalah cara kami berpelukan dari kejauhan. Saling terdiam, tetapi tatapan mata itu penuh kalimat yang tak tersampaikan.

Hari itu adalah hari terakhir aku menengok rumah, sebelum terasing dari lingkungan. Semua warga meneriakiku, beberapa bahkan lari terbirit-birit saat aku lewat dan menyapa. Bapak bilang, keluargaku setiap hari menangis karena ikut terasingkan dari warga. Mereka bilang kami adalah keluarga pembawa malapetaka. Entahlah, rasanya perjuanganku tidak ada artinya. Tetapi demi raga yang lain, aku menutup telinga rapat-rapat.

Rabu, 13 Januari 2021

Surga yang Tertukar

Mengulang hari spesialnya, lelaki itu memakai sepatu pantofel, kemeja putih, jas hitam, dasi biru, medali, dan toga. Dia berdiri lusuh sambil membentangkan selembar ijazah tepat searah garis lurus matanya. Percuma ! Puing-puing kepedihan itu tak mampu ditutupi hanya dengan selembar kertas.  Tulisan cumlaude seolah hanya tumpahan tinta yang tak bermakna apa-apa.

“Pria malang!” Teriakku lirih, lalu tertawa getir.

Ya, pria malang itu aku. Seusai tertawa palsu, aku tercenung dengan mata yang menggeriap. Pagi yang cerah ini, terlihat seperti temaram.  Tubuhku ambruk perlahan ke tanah. Kumasukkan ijazah itu ke dalam tote bag bersama bunga warna-warni yang telah layu. Jemariku mengais tanah, dan menyapu setiap puing-puing yang berserakan. Kugenggam erat bongkahan tanah bercampur arang itu, lalu kuletakkan di depan dada.  Rasanya  seperti terhunus pedang yang sangat tajam. Mungkin, dalam secuil tanah ini, ada darah Ayah yang mengering  atau mungkin ada rambut Ibu yang berubah menjadi abu. Barangkali, dalam segenggam tanah ini, ada sisa-sisa seragam batik wisuda keluarga yang telah hangus.

“Pembunuh, tidak ada kata maaf untukmu!” Teriakku lantang sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah langit.

Pelangi di Sudut Mega Mendung

 

Dari jembatan penghubung lantai dua gedung Labtek V dan Labtek VI ITB, Mega mengatur posisi dan sudut pandangan di matanya sampai presisi. Karena hanya dengan sudut yang tepat, pelangi  di atas air mancur  kolam Indonesia Tenggelam (Intel) ITB akan terlihat.

“Anak pawang Sintren pasti bisa kuliah S2 di Perancis!” Begitulah kalimat afirmasi yang terus ia ulang.

“Dooor!” Suara lantang lelaki bertubuh atletis itu membuat tubuh Mega bergidik hebat.

“Bryan!” Mega menaikkan alisnya dan mengernyitkan bibir.

“Bagaimana kabar Sorbonne University?” Bryan bertanya sambil berjalan mundur menuju gedung sebelah.

“Baik. Seperti pelangi di bawah sana. Walaupun samar-samar, tetapi aku bisa melihat kalau itu nyata.”

Pertanyaan Bryan membuat memori masa lalunya kembali terlintas. Mega membuka Youtube lalu memutar video berjudul “Rekaman Penggusuran Pedagang Kaki Lima di Jakarta 2011.”

****

Suara klakson kendaraan bermotor bersahut-sahutan. Laju pengendara terhalang aksi kejar-kejaran pedagang kaki lima dengan Satpol PP.  Ada pedagang mainan yang mencoba memukul polisi dengan barang dagangannya. Ada pedagang yang tarik-menarik sambil meronta ketika barang dagangan diangkut paksa dan gerobaknya dirobohkan. Tak sedikit pula pedagang yang berlari meninggalkan barang dagangannya karena takut.

Dalam rekaman itu terlihat, lelaki berbadan ringkih tercenung sambil menahan bongkahan air di matanya.  Berharap ada petugas yang mengerti bahasa dari bola matanya. Matanya menatap kepasrahan, tetapi hatinya terus menatap harap tentang mimpi anaknya yang sedang ia perjuangkan. Lelaki itu Parjo, ayah Mega.

“Anak saya harus lanjut sekolah, Pak.” Kalimat pertama dan terakhir yang Parjo ucapkan kepada petugas sebelum akhirnya mendung di matanya tumpah. Perlahan ia menjatuhkan badannya ke tanah. Setengah bersujud sambil memukul-mukul jalanan beraspal. Beberapa wartawan pun berkumpul dan mewawancarainya.

Kaki Bersayap Malaikat

 

Ketika musim memandang rindu pada hujan, ada rintik yang jatuh di kelopak mataku. Saat kupandang, langit bukan hanya lembaran kosong. Ada setumpuk rindu pada wajahmu. Senyummu hadir dalam sebongkah awan yang kukenang.

Kukecup batu nisan itu. Maaf, lagi-lagi nisanmu basah. Beberapa puzzle masa lalu tiba-tiba membombardir isi kepalaku.

*****

“Suatu hari nanti, namamu akan terukir dalam sejarah.”

Kubalikkan badan. Terlihat wajah dengan bercucuran keringat itu berjalan menuntun sepeda tuanya. Aku kembali berlatih memukul shuttlecock−dengan raket yang senarnya putus diberbagai tempat−ke tembok. Sesekali menoleh ke belakang, menyaksikan punggungnya yang semakin lusuh dan terbungkuk.

Kukepal tangan,  jari telunjuk dan wajah menengadah ke langit. Pada detik ini, aku bersumpah pada Tuhan. Kalau sampai impianku tidak terkabul, aku akan terus bermimpi dari awal lagi dengan mimpi yang sama.

“Suatu hari, senyummu akan mengembang karena keringatku, Ayah.”  Janjiku dalam hati.

Alas sepatuku mulai aus, tetapi langkahku takkan pernah tergerus oleh keadaan.

“Nak, lihat ini. Ayah menemukan poster ini di tiang listrik. Beruntung, lemnya tidak terlalu merekat.” Ayah menyodorkan selembar poster berukuran A5 kepadaku.

Aku tertunduk. Membayangkan bagaimana hebatnya pesaingku dengan raket mahal dan sepatu bermerk.

“Ayah tahu, ini poster yang sama dengan poster tahun lalu yang kau remas dan bakar di halaman belakang. Ayah tahu, kamu selalu memandanginya setiap saat, saat ayah sedang terbaring sakit dan tidak punya uang. Maafkan ayah, Nak! Karena keterbatasan ayah, mimpimu tertunda.”

Dia menyeka air yang mulai menetes di sudut mataku. Bibirnya tersenyum, tetapi getir di matanya tak pernah bisa berbohong.

 

Blogger news

liukan pelangi

Wavy Tail

Blogroll

About