Tubuh ini akhirnya ambruk, merebah lelah
pada dinding rumah sakit. Delapan jam menahan haus dan lapar dengan badan
terbungkus rapat. Bulir air mulai menetes, membayangkan ratusan wajah itu
menjerit dengan napas tersengal. Mata ini mulai menggeriap, tetapi membayangkan
keluarga mereka menahan air mata dari kejauhan, aku mencoba berdiri.
Kemudian teringat pada hari itu, saat
pulang ke rumah tetapi hanya bisa berdiri dari luar pagar. Lambaian tangan
adalah cara kami berpelukan dari kejauhan. Saling terdiam, tetapi tatapan mata
itu penuh kalimat yang tak tersampaikan.
Hari itu adalah hari terakhir aku menengok rumah, sebelum terasing dari lingkungan. Semua warga meneriakiku, beberapa bahkan lari terbirit-birit saat aku lewat dan menyapa. Bapak bilang, keluargaku setiap hari menangis karena ikut terasingkan dari warga. Mereka bilang kami adalah keluarga pembawa malapetaka. Entahlah, rasanya perjuanganku tidak ada artinya. Tetapi demi raga yang lain, aku menutup telinga rapat-rapat.