Seekor
Jalak tua mengudara tanpa tujuan. Mengitari setiap
puing-puing kenangan yang membangkai. Batang-batang yang telah terpotong, daun
mengering dan tanah yang semakin mencekung. Ia sedang berandai tentang segala hal.
Andai waktu dapat diputar, andai semua dapat kembali, dan andai dia Tuhan. Sayangnya, ia bukan Tuhan. Menitihkan
air mata, satu-satunya cara untuk meremas-remas
ilusinya. Betapa berat meratapi ketiadaan yang sangat indah. Masih jelas
terbayang, sesuatu yang dulu menjulang kini telah hancur menciut. Rata.
Dahulu jalanan ditata rapi dengan batu di sisi kanan kirinya.
Lihat, sekarang hanyalah tanah kering bercorak
ban mobil truk yang menyerupai motif mega mendung, menancap sedalam 25 cm. Bahkan, berubah menjadi lumpur di musim
penghujan. Jalak kehilangan riak air yang mengalir dari telaga di atas bukit.
Tidak ada lagi wangi semak perdu yang dihiasi bunga-bunga kecil. Gemuruh
mesin-mesin pabrik dan kendaraan seakan meredam suara cicitan burung-burung
hutan, termasuk Jalak.