
Ketika musim memandang rindu pada hujan
Ada rintiknya yang jatuh dipelupuk mataku
Ingin kutiupkan angin biar berlalu
tapi langit bukan hanya lembar kosong
Ada setumpuk rindu pada wajahmu
Yang hadir dalam setiap bongkah alam
Dari balik kaca aku memelukmu
Pada terasering yang melengkungkan bibirmu
Pada gunung yang runcing bagai hidungmu
Pada awan yang serupa kedipan matamu
Dan pada ranting yang mengingatkan aduhai alismu
Aku yang menyusuri serpihan siang
Bersenandung dengan awan putih biru
Hingga larut, seperti teduh
adalah dirimu yang membuatku tahu
Bahwa cinta itu
Masih ada…!
(Sumedang, 1 Juli 2016 : 11.05)
Perjalanan dari Bandung menuju Sumedang kali ini terasa begitu lama. Sejak awal aku menaiki mobil ini, jarum panjang di jam tanganku sudah berputar melewati angka 12 sebanyak tiga kali. Padahal biasanya perjalanan cukup ditempuh dalam waktu dua jam. Ini baru melewati setengah perjalanan. Mobil seakan jalan di tempat. Awan-awan yang aku tatap dari sejam lalu hingga detik ini masih berbentuk sama. Bahkan, ranting pohon menjulang yang sudah ditingggalkan daun-daunnya itu masih belum enyah dari pandangan. Refleks, tanganku tergerak mengambil secarik kertas dan sebuah bolpoin untuk kemudian mulai menulis. Begitu mengalir. Aku menulis puisi dari wajah-wajah alam yang terpantul di bola mataku dari balik jendela.
Hingga puisiku usai, pemandangan di depanku masih belum berubah. Kupukul-pukul saja punggung kursi di depanku. Sampai gaduh. Sesekali penumpang di depan menoleh kebelakang sambil mengerutkan dahi dan menaikkan alisnya tinggi-tinggi. Ah, tinggal dikasih senyuman maut saja dia langsung kembali memalingkan wajah.