Bahasa-bahasa berbeda terdengar asing oleh angin. Saling menampar, menusuk dengan mulut-mulut dan jemari yang tajam. Orang di utara bilang, warna yang suci hanyalah putih. Orang di Selatan bilang hanya hitam yang pantas dipandang. Tetapi orang di Barat bilang, selain biru adalah buruk. Dan orang di Timur bilang warna jingga adalah busuk. Jadi, apakah perbedaan memang diciptakan untuk luka dan juga terluka?
Hingga kuas-kuas menangis. Pensiun dan takut memberi warna, walau hanya segores saja. Bunga-bunga memilih menguncup, takut mekar. Takut akan warna berbeda dengan dedaunan dan pohon sekitar. Pelangi pun memilih bersembunyi dibalik awan dan menitihkan airmata bersama hujan. Toh buat apa? Semesta melirik perbedaan warna sebagai ancaman, bukan?
Di atas tiang-tiang yang kokoh, selembar kain melambai dengan getir. Dengan luka jahitan di garis tengah. Hampir terpisah kedua warnanya, sampai waktu membalutnya dengan asa. Ada amal dan doa kekal dari tanah-tanah yang dulu disebut manusia. Tentang putih tulang remuk dan merah darah yang dulu berceceran. Angin dan langit adalah saksi rahasia pada waktu dulu, kini dan hari esok. Lalu, harus dicari kemana obat atas sayap-sayap burung yang patah?
******
Tulisan ini juga dimuat di :
https://www.inspirasi.co/porporaa_/30456_kuas-kuas-menangis